close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bapak Film Nasional, Usmar Ismail dalam shooting filmnya./ Parfi
icon caption
Bapak Film Nasional, Usmar Ismail dalam shooting filmnya./ Parfi
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 20 Maret 2018 18:10

Usmar Ismail: Sineas idealis yang mati miris

Google doodle hari ini merayakan hari ulang tahun ke-97 Bapak Film Nasional, Usmar Ismail. Sosok yang dikenal sangat idealis dalam berkarya.
swipe

Jika Anda membuka Google hari ini, maka akan menemukan doodle pria berkacamata dengan kamera perekam bernuansa vintage. Sosok yang dideskripsikan adalah Bapak Film Nasional, mendiang Usmar Ismail, yang hari ini, Selasa (20/3) merayakan ulang tahun ke-97.

Nama Usmar sendiri di sebagian kalangan penikmat film mungkin terdengar akrab. Bagi orang Jakarta yang kerap berseliweran di kawasan Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, tentu akan menemukan gedung pusat perfilman yang dinamai sesuai pria asal Bukit Tinggi tersebut.

Gelar Bapak Film Nasional yang disematkan padanya pun bukan tanpa alasan. Ia adalah orang yang membidani lahirnya Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini) dan pada 30 Maret 1950 memulai shooting film perdananya bertajuk “Darah dan Doa”. Tanggal ini akhirnya ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Dalam sejarah hidupnya, pria kelahiran tahun 1950 itu telah memproduksi 33 film layar lebar, dengan genre drama sebanyak 13 film, komedi satir 9 film, aksi sebanyak 7 film, dan musikal 4 buah.

Karya Usmar Ismail yang sering disebut sebagai magnum opus dan meledak di pasaran, “Tiga Dara” (1956) konon menjadi film yang paling tak ia sukai. Selama penayangannya, film itu sendiri telah membukukan penjualan sebesar Rp 10 juta dengan laba bersih hingga Rp 3 juta, sebuah angka fantastis kala itu. Bahkan film itu berhasil tayang delapan minggu berturut-turut dan beredar hingga ke Amerika.

Namun bagi sineas film bertangan dingin, idealis, dan selalu penuh perhitungan dalam membuat karya, film yang pada 11 Agustus 2016 lalu dibuat versi restorasinya ini, sungguh ia benci.

Benci karya sendiri sebenarnya bukanlah sindrom baru dalam industri seni. Sutradara kawakan Woody Allen konon sangat membenci film favorit publik “The Manhattan”. Bahkan ia mendesak United Artist untuk membatalkan peluncuran film tersebut. Demikian halnya dengan pelukis Michelangelo yang pernah menghancurkan karya terbaiknya, patung Pieta yang menggambarkan Maria Magdalena memegang Yesus Kristus pasca disalib. “Creep” yang digilai sejumlah perempuan pun menjadi lagu terburuk menurut penyanyinya sendiri, Radiohead.

Ada beberapa seniman yang terang-terangan membeberkan alasan di balik kebencian mereka atas karya sendiri, namun ada pula yang membisu. Bagi Usmar, alasannya membenci “Tiga Dara” adalah karena film itu tak sesuai idealismenya dan jadi sekadar produk komersial.

Memang film tersebut sukses di pasaran, ditandai dengan produksi “Delapan Pendjuru Angin” dan “Asmara Dara” yang juga meraup kesuksesan komersial. Di mata Usmar, kesuksesan itu sama saja dengan menggadaikan idealismenya dalam berkarya.

Sejak saat itu, Usmar susah payah menghidupkan kembali idealismenya dalam berkarya. Sempat membuat beberapa film. Hingga puncaknya pada 1970, ia kembali menelan pil pahit saat Perfini bekerja sama dengan perusahaan film Italia, dalam produksi film bertajuk “Adventures in Bali”.

Historia menyarikan pendapat ipar Usmar, Rosihan Anwar, produksi film itulah yang paling menguras emosi dan membawanya pada kematian di usia muda yang tragis.

“Usmar meninggal dunia dalam usia belum genap 50 tahun. Walaupun Usmar tidak pernah membicarakannya dengan saya, namun saya pikir dia telah mengalami kekecewaan berat dan stress akibat joint-production Perfini dengan sebuah perusahaan film Italia membuat film cerita dengan lokasi Bali,” tulis Rosihan dalam “Di Balik manusia Komunikasi,” tulisan persembahan untuk 75 Tahun M. Alwi Dahlan, kemenakan Usmar Ismail.

Namun kerja sama ini rupanya tak berjalan mulus. Honorarium artis dan karyawan tak terselesaikan, biaya hotel pun semua dibebankan pada Perfini.

Menurut perjanjian, kata Rosihan, masih dilansir dari Historia, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film yang diedarkan di Eropa. “Ternyata waktu Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film Bali itu namanya sama sekali tidak disebut. Usmar sudah ditipu oleh produser Italia,” kata Rosihan.

Sepulangnya dari Italia, niat untuk mengurus salinan film “Adventures in Bali” itu rupanya tak kunjung dikirim. Setelah berhasil diedarkan di Indonesia pun, film ini gagal menggaet massa.

Di sisi lain, Usmar harus pontang-panting menghidupi Perfini, membayar karyawan dengan melego peralatan studio, hingga merumahkan 160 pekerja di PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club, sebab bisnis itu dilikuidasi toko serba ada Sarinah.

Usai penyelesaian dubbing film terakhirnya “Ananda” di Perfini, ia mengajak keluarga dan sahabat berkumpul merayakan momen pergantian tahun di Miraca Sky Club. Namun seorang undangan, Rita Sri Hastuti menyatakan, Usmar bertingkah aneh sepanjang acara. Ia memeluk satu per satu orang yang hadir dan tak seperti biasanya, malam itu ia ber-soul sendiri.

Keesokan hari, Usmar tak sadarkan diri karena pendarahan di otak. Keluarga sempat terlintas untuk mengusahakan operasi otak, namun jiwanya tak tertolong lagi. Ia meninggal dunia pada 2 Januari 1971 di kediamannya yang sederhana.

Dari sekian filmnya yang mendulang keuntungan komersil, seperti “Darah dan Do'a (1950), “Krisis” (1953), “Lewat Djam Malam” (1954), “Tamu Agung” (1955), hingga “Tiga Dara” (1956), di akhir hayatnya ia hidup dalam kondisi sederhana.

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan