Barangkali Santo Valentine tak pernah menyangka, jika efek kematiannya yang tragis, justru diperingati sebagai hari penuh romantisme. Sayangnya seiring perkembangan waktu, Valentine tak hanya ditahbiskan sebagai hari kasih sayang. Itu hanya dimanfaatkan korporasi cokelat untuk memasarkan produknya, dengan segala semiotika yang jitu.
Sejarah Valentine sendiri tak bisa dilepaskan dari tiga santo yang menjadi martir pada era Gereja Katolik. Ketiganya dihukum lantaran memperjuangkan cinta dengan caranya masing-masing. Namun narasi terkuat yang dihubungkan dengan momentum 14 Februari adalah uskup Valentine dari Terni, Italia. Dia dihukum setelah membangkang pada aturan Kaisar Romawi Claudius II, tentang larangan pernikahan muda-mudi setempat.
Claudius menilai, pernikahan dini hanya menjadi beban bagi mereka yang berjuang di garda depan membela negara. Alhasil, kaisar yang lahir pada 210 SM ini menggulirkan dekrit bahwa tentara lajang jauh lebih baik, karena bisa fokus berperang.
Memberontak terhadap aturan ini, Valentine nekat menikahkan tentara dengan kekasihnya diam-diam. Dalam versi lain, dia juga menikahkan pasangan Kristen dan mengenalkan Kristus yang sarat kasih sayang, pada Claudius II. Merasa terhina, Valentine dieksekusi mati dengan cara dipenggal di Flaminian pada 269.
Kendati telah memperjuangkan cinta untuk pasangan Romawi saat itu, kematian Valentine tak lantas diperingati sebagai hari kasih sayang. Sebab, otoritarian Claudius membuat masyarakat memiliki informasi yang sangat minim terkait Valentine.
Puncaknya pada abad 14, penyair bernama Gaoffrey Chauser menulis sebuah puisi bertema cinta, hasrat seksual, situasi alam yang indah, yang didedikasikan untuk Santo Valentine. Dia memuji Valentine atas usahanya menciptakan segala keindahan tersebut. Dari situlah orang mulai mengelu-elukan sosok Valentine sebagai ikon kasih sayang.
Terlebih, saat Ratu Victoria di Inggris tahun 1837 mengukuhkan kematian Valentine sebagai hari yang laik untuk dirayakan. Tradisi bertukar cokelat pun tak bisa dilepaskan dari hobi Victoria yang gemar memberi cokelat pada orang terdekatnya.
Menangkap peluang bisnis, pengusaha cokelat Richard Cadbury berhasil mengemas minuman cokelat dalam dalam wujud kemasan padat. Bukan lagi hanya diminum, tapi juga dibungkus secara romantik. Ide dasar pemasarannya saat itu adalah agar cokelat bisa lebih mudah menyasar pasar yang lebih luas. Dia menuliskan jargon andalan, cokelat dimakan, kotak kemasan bisa disimpan sebagai kenang-kenangan cinta.
Ide Cadbury dibawa ke luar dari Inggris menuju Negeri Paman Sam pada abad 19. Pengusaha setempat Hershey’s bahkan berusaha mencampur ramuan cokelat dengan karamel. Mengutip dari Daily Mail, produk legendaris Hershey’s adalah cokelat "kisses’", berbentuk bak butiran air mata dan bertema cinta. Sebuah pendekatan bisnis yang ternyata laku keras di pasar Amerika.
Pesaing Hershey’s, Russel dan Clara Stover juga giat memasarkan cokelatnya dalam kemasan kotak berbentuk hati. Produknya yang paling ikonik adalah "Secret Lace Heart", cokelat yang dibalut sutra dan renda hitam.
Cokelat terus menyebar ke berbagai penjuru dunia dan berasimilasi dengan kultur lokal. Di Jepang, cokelat difusi dengan nasi kari. Di Indonesia cokelat dikemas dan dipasarkan dengan berbagai varian rasa dan bentuk.
Meski tak selamanya mulus, korporasi cokelat terus mengembangkan cara supaya produknya tetap diminati masyarakat. Teknik pemasaran online juga dipilih, sehingga penjualan cokelat di Indonesia bisa naik berkali lipat pada momen ini. Tokopedia mencatat penjualan cokelat jelang Valentine 2017 mengalami kenaikan hingga 650%. Sedang rata-rata peningkatan jualan juga dialami ritel cokelat yang dipasarkan produknya di situs e-commerce tersebut.
Melihat fakta ini, tepat kiranya jika kita memandang momentum Valentine dengan lebih kritis. Bahwa Valentine tak hanya berkelindan dengan persoalan kasih sayang. Namun lebih kepada upaya penciptaan kesadaran baru dari perusahaan cokelat bagi masyarakat, untuk membeli produknya, khususnya di tanggal 14 Februari. Nah, selamat hari kasih sayang!