close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Anarkisme. Alinea.id/Haditama.
icon caption
Ilustrasi Anarkisme. Alinea.id/Haditama.
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 23 April 2020 06:15

Vandalisme Anarkis adalah martir kritik, negara membungkamnya…

Beberapa waktu lalu, coretan dinding bernada provokatif muncul di Tangerang. Diduga dilakukan kelompok Anarkis.
swipe

Coretan bernada provokatif dengan cat semprot, seperti “sudah krisis, saatnya membakar”, “kill the rich”, dan “mau mati konyol atau melawan” ditemukan di dinding dan gerbang Pasar Anyar, halte bus Rumah Sakit Umum (RSU) Anisa, dan beberapa pertokoan Kota Tangerang pada 9 April 2020.

Andre F. Fajar, warga Tangerang yang bekerja di sebuah restoran merasa resah dengan coretan-coretan tersebut. “Walaupun sudah ditangani polisi, tapi saya yakin akan ada dan belipat ganda,” kata Andre saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (21/4).

Setelah foto-foto itu tersebar di media sosial dan dianggap membuat keresahan, polisi bergerak dan membekuk orang-orang yang diduga pelaku. Bukan hanya di Kota Tangerang, di Kota Banjar, Jawa Barat aksi serupa juga terjadi.

Di sana, coretan dinding, seperti “feed the poor”, “corona vs everybody”, dan “rakyat kuasa” ditemukan di Jalan Husen Kartasasmita, Jalan Gudang, Jalan Dewi Sartika, dan Kantor Desa Jajawar Kota Banjar. Ada simbol khas di coretan-coretan tersebut, yakni bom molotov dan simbol A dalam lingkaran.

“Mereka tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan berupaya untuk memanfaatkan situasi yang saat ini masyarakat sedang resah. Mereka manfaatkan untuk lebih resah lagi,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dalam konferensi pers yang disiarkan live lewat Instagram Humas Polda Metro Jaya, Sabtu (11/4).

Polisi menyebut, aksi vandalisme ini dilakukan kelompok Anarkis.

Konsep Anarkis

Rosa—bukan nama sebenarnya—seorang mahasiswa yang mengaku bagian dari kelompok Anarko mengatakan, aksi corat-coret di Tangerang dalam pemikiran Anarkisme, disebut dengan istilah aksi langsung.

Ia mengatakan, aksi itu merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang tak becus menangani pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Pemuda berusia 22 tahun itu menjelaskan, penganut Anarkisme biasa disebut sebagai Anarkis. Sementara istilah Anarko, yang sering digunakan media massa, merujuk pada Anarko-Sindikalisme—salah satu varian Anarkisme. Varian lainnya, ada Anarko-Individualisme, Anarkis-Hijau, dan Anarkis-Pasifis.

“Beberapa kata tambahan itu, menjelaskan fokus tertentu dalam perspektif Anarkisme,” ujar Rosa saat dihubungi, Sabtu (18/4).

Kelompok Anarkis, kata Rosa, didominasi anak muda. Sehari-hari, mereka pun bekerja, seperti mengelola sebuah kafe. Ia mengatakan, ada kegiatan yang jarang diketahui publik, yakni aksi food not bombs. Foot not bombs merupakan gerakan sosial membagi makanan untuk rakyat miskin dan mereka yang tak mampu membeli.

Seorang buruh dari Aliansi Buruh Karawang melakukan aksi vandalisme saat mengikuti aksi Hari Buruh Internasional (May Day) di klawasan By Pass, Karawang, Jawa Barat, Rabu (1/5). Foto Antara/M Ibnu Chazar.

“Bahan pangannya didapat secara sukarela atau sisa dari pasar. Jadi, enggak perlu mengeluarkan uang,” ucapnya.

Rosa mengatakan, kelompok Anarkis juga membuat pasar gratis. Selain itu, mereka melakukan bentuk solidaritas lain, seperti mendampingi korban penggusuran.

Sementara Marco—bukan nama sebenarnya—yang mengaku juga sebagai penganut Anarkisme, mengatakan kelompoknya hidup dalam kolektif yang toleran dan beragam.

Ia menyebut, kelompoknya terdiri dari mahasiswa, pengangguran, dan pekerja upah rendah.

“Kelompok saya bukan kolektif dengan tujuan spesifik, seperti Anarko-Sindikalis atau Anarko-Feminis. Kami lebih plural,” kata dia saat dihubungi, Selasa (21/4).

Marco menuturkan, beberapa orang yang aktif dalam kelompoknya tak terlibat secara politik atau hidup dalam doktrin ideologi. Ia mengatakan, mereka terlibat karena kegiatan sosial.

"Sekalipun demikian, dominasi Anarkis sangat kuat. Praktik harian kami juga egalitarian dan berlandaskan pada musyawarah," ucapnya.

Ketika melakukan kegiatan sosial, Marco menyebut, kelompoknya mengandalkan donasi. Dana yang diterima bersumber dari individu dan berbagai kelompok.

"Kami tidak menerima dana dari yayasan, lembaga donor, pemerintah, partai politik, maupun korporasi," ucapnya.

Di samping itu, mereka menggalang dana dari menjual kaus. Sedangkan untuk bertahan hidup, Marco dan kawan-kawannya bertani atau menjual karya seni.

Membungkam kritik

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, beberapa waktu belakangan ini pihaknya mendapatkan pengaduan ada orang yang didatangi rumahnya karena diidentifikasikan sebagai kelompok Anarkis. Penangkapan terhadap mereka yang diduga melakukan aksi vandal memang terjadi di Tangerang, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Asfinawati melanjutkan, polisi bisa dengan mudah menelusuri kasus itu. Namun, ia berpesan, tidak reaktif. Menurutnya, bila kelompok pencorat-coret tembok itu melakukan tindakan lantaran rasa kecewa, seharusnya tidak bisa dipidana.

“Justru pertanyaannya adalah apakah negara sudah melakukan tindakan-tindakan agar masyarakatnya tidak kecewa?” ucap Asfin saat dihubungi, Minggu (19/4).

Saat polisi reaktif melakukan penangkapan dan mempidana pelaku, ia menuturkan, hal itu sama saja dengan membungkam kritik. Dalam jangka panjang, sebut Asfinawati, hal itu berbahaya karena bisa membuat negara semakin terpuruk karena pemerintah enggan mendengar kritik warga.

“Kekuasaan itu cenderung korup dan di atas. Dia pasti tidak bisa memahami sungguh-sungguh apa yang dialami masyarakat di bawah. Karena itu masyarakat di bawah penting sekali didengar suaranya,” kata dia.

Di sisi lain, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, aksi vandal di beberapa daerah merupakan gerakan anak muda yang peduli orang lain karena kecewa terhadap negara yang lamban menangani Covid-19.

Dalam pandangan Rissalwan, aksi vandal adalah cara agar protes yang mereka lakukan diperhatikan oleh banyak orang dan pemerintah. Sebab, menurutnya, mereka sadar kalau kritik secara baik-baik, maka hanya sekadar menjadi tontonan.

“Vandalisme itu martir. Mereka bukannya enggak tahu kalau ditangkap polisi, tahu mereka,” kata dia saat dihubungi, Minggu (19/4).

Seorang buruh dari Aliansi Buruh Karawang melakukan aksi vandalisme saat mengikuti aksi Hari Buruh Internasional (May Day) di klawasan By Pass, Karawang, Jawa Barat, Rabu (1/5). Foto Antara/M Ibnu Chazar.

Asfinawati mengungkapkan, penangkapan dan pemidanaan membuktikan polisi sudah melakukan tindakan terhadap seseorang berdasarkan aliran politiknya. Hal itu, sebut dia, bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

“Karena tidak ada tindakan nyata yang mereka lakukan,” ujarnya.

Asfinawati menegaskan, penilaian terhadap seseorang seharusnya berdasarkan tindakan, bukan aliran politik. Sebab, kejahatan bisa dilakukan siapa saja. Sehingga, kata dia, tak bisa menggunakan aliran politik sebagai dalih menentukan seseorang bersalah atau tidak.

“Orang itu tidak bisa dikategorikan berdasarkan pandangan, aliran, dan cita-cita politiknya. Yang bisa membatasi orang itu adalah tindakannya,” kata dia.

Ia mengatakan, narasi yang membuat kesan Anarkisme buruk karena minimnya literasi terkait hal itu di Indonesia. Menurut dia, secara tidak langsung hal itu terjadi karena pandangan warisan rezim Orde Baru, yang melakukan tindakan memberangus buku.

“Bukunya dijadikan musuh. Akhirnya, orang tidak punya ilmu dan jadi salah kaprah,” ujar dia.

Di sisi lain, terkait buku-buku yang ikut disita polisi sebagai barang bukti, Asfinawati memandang, buku-buku itu tak berbahaya.

Beberapa buku yang disita polisi, di antaranya Corat-Coret di Toilet karya Eka Kurniawan; Massa Aksi karya Tan Malaka; Indonesia dalam Krisis 1997-2002 karya Tim Litbang Kompas; Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme karya Soekarno; dan Gali Lobang Gila Lobang karya Remy Sylado.

Menciptakan musuh bersama

Asfinawati mengingatkan, rangkain peristiwa yang menimpa kaum Anarkis bisa menimpa kelompok lainnya. Sebab, narasi yang digunakan berulang seperti yang sudah-sudah.

Hal itu serupa saat ideologi Komunis dilarang di Indonesia usai Soekarno jatuh dari kekuasaan. Ketika masa Orde Baru, sebut Asfinawati, kelompok Islam pun pernah merasakan pembungkaman. Setelah itu, hal yang sama dialami minoritas agama dan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Kalau gini rakyat enggak pernah aman dan bagi Indonesia enggak akan pernah besar. Ada kritik bukannya didengerin, diusahakan dipenuhi sebaik-baiknya,” ucapnya.

Senada dengan Asfinawati, Rissalwan pun memandang, polisi kerap menggunakan gaya lama, yakni menciptakan musuh bersama. Saat ini, ia mengatakan, polisi menjadikan kelompok “circle A” sebagai “kambing hitam”.

“Seolah-olah ada musuhnya, sebetulnya bisa jadi enggak ada,” kata dia.

Narasi yang berkembang saat ini, kelompok Anarkis diartikan antinegara. Namun, Rissalwan menjelaskan, gagasan ketiadaan negara adalah hal yang lumrah dalam perspektif sosiologi, terutama sosiologi budaya.

Ia menerangkan, konsep ini mirip budaya pasola di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di dalam praktik kebudayaan itu, bukan tak mungkin seseorang yang melakukannya akan terluka.

“Harusnya kan itu sudah melanggar KUHP kalau menurut negara, tapi negara tidak ada. Artinya, gagasan yang dibawa Anarko sebetulnya tidak ada yang aneh,” ujarnya.

Pasola merupakan kegiatan saling melempar alat sejenis lembing kayu dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang saling berlawanan.

Lebih lanjut, ia menerangkan, ketiadaan negara dalam konsep kelompok Anarkis bukan berarti negara benar-benar tak ada. Akan tetapi, mereka merasa negara tidak kompeten.

“Mereka percaya sistem mereka sendiri yang sebetulnya praktik di Indonesia banyak. Praktik di mana negara tidak berperan,” katanya.

Infografik mengenal Anarkisme. Alinea.id/Haditama.

Menurut dia, jika kelompok Anarkis ingin melawan negara, artinya mereka akan membangun kekuatan militer. Namun, kenyataannya tidak ada praktik itu. Oleh karena itu, ia menilai, ada salah kaprah terkait anak muda yang berpikir kritis, seperti kelompok yang diduga Anarkis.

Dalam catatan sejarah, menurutnya, anak muda memang yang mengambil peran perubahan. Misalnya, pembentukan organisasi Boedi Oetomo pada 1908, gerakan pemuda pada 1945 yang memaksa Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan, aksi mahasiswa 1966, hingga gerakan reformasi 1998.

Becermin dari perjalanan sejarah, ia menganggap wajar anak muda tak puas dengan kondisi status quo yang ada saat ini. Rissalwan mengatakan, negara sebagai status quo juga keliru jika menganggap anak muda sebagai ancaman.

“Terlepas tatoan atau cara berpikir kiri atau kanan, harus disadari anak muda itu memang punya tugas sejarah. Tugas kesejarahannya adalah menggugat status quo,” ujar dia.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan