Vasektomi sudah diperkenalkan sejak lama. Dikutip dari jurnal Family Planning Information Service (1980), vasektomi pertama dilakukan terhadap seekor anjing oleh ahli bedah dan anatomi asal Inggris, Astley Paston Cooper pada 1823. Kemudian, ahli bedah dari Inggris lainnya, Reginald Harrison melakukan vasektomi terhadap manusia pertama. Namun, bukan untuk sterilisasi, tetapi untuk mencegah atrofi prostat.
Selama Perang Dunia II, vasektomi dianggap sebagai metode pengendalian kelahiran. Program vasektomi pertama dalam skala nasional diluncurkan di India pada 1954.
Para peneliti dalam jurnal Global Health Science and Practice (Februari, 2023) menemukan, penggunaan vasektomi di dunia 61% lebih rendah dibandingkan dua dekade lalu. Dari 84 negara yang dijadikan sampel, hanya tujuh negara yang melaporkan prevalensi vasektomi di atas 2%.
Di Indonesia, angka vasektomi pun sangat rendah. Menurut Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, ketika membuka acara puncak Hari Vasektomi Sedunia, Rabu (2/12/2020), hanya 0,3% pria yang melakukan vasektomi. Rendahnya angka vasektomi itu, kata Hasto, lantaran masih ada mitos vasektomi sama dengan kebiri, sehingga mengakibatkan impoten.
Menurut Direktur Bina Pelayanan Keluarga Berencana (KB) wilayah khusus BKKBN, Fajar Firdawati, vasektomi adalah salah satu metode kontrasepsi bagi pria. Terutama pada pasangan usia subur yang sudah tak ingin menambah anak lagi.
Prosedur yang dilakukan, dengan tindakan mengikat dan memutus saluran sperma atau vas deferens kanan dan kiri, sehingga cairan mani yang dikeluarkan saat ejakulasi tak mengandung sperma. Dengan begitu, sperma yang dihasilkan testis tidak dapat disalurkan dan akan kembali terserap oleh tubuh.
Dihubungi terpisah, dokter spesialis urologi di Rumah Sakit Hermina Podomoro dan Amanda Cikarang, Hani Anindita Hendarto mengungkapkan, tindakan tersebut dilakukan dengan cara pembiusan lokal.
“Diharapkan menghalangi aliran sel sperma, sehingga tidak terjadi pembuahan saat melakukan hubungan seksual,” kata Hani kepada Alinea.id, Jumat (26/4).
Fajar menambahkan, setelah dilakukan vasektomi, cairan mani tidak dapat langsung steril dari sperma karena masih ada sisa-sisa. Maka, diperlukan kontrasepsi tambahan, yakni menggunakan kondom, selama tiga bulan pertama pasca-tindakan.
“Vasektomi, dalam program (BKKBN) disebut juga kontrasepsi mantap (kontap), sangat efektif untuk mencegah kehamilan lebih dari 99%,” ujar Fajar kepada Alinea.id, Kamis (25/4).
“Kegagalan mungkin saja terjadi, namun angkanya sangat kecil, yaitu sekitar 1 per 1.000 dalam satu tahun pertama.”
Sementara menurut Hani, vasektomi cukup efektif mencegah kehamilan pada pasangan, dengan angka kegagalan yang cukup kecil. “Dengan catatan, teknik operasinya sudah benar,” tutur Hani.
Fajar menuturkan, BKBN sudah melakukan sosialisasi tentang kontrasepsi, termasuk vasektomi untuk perencanaan keluarga. Soal angka vasektomi yang rendah, kata dia, karena masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap KB hanya urusan perempuan.
“Padahal, perencanaan dalam sebuah keluarga menjadi tanggung jawab bersama,” ujar Fajar.
“Selain itu, karena pilihan kontrasepsi bagi wanita lebih banyak dibandingkan untuk pria, yang saat ini masih terbatas hanya vasektomi dan kondom.”
Sedangkan Hani memandang, vasektomi kurang diminati lantaran seseorang takut terhadap tindakan operasi. Di samping itu, ia menilai, sosialisasi vasektomi kurang karena selama ini masyarakat hanya tahu kalau KB biasanya untuk perempuan. Ada pula kekhawatiran karena vasektomi bersifat permanen.
“Jadi mungkin banyak yang takut suatu saat ingin punya anak lagi, nanti susah,” ucap Hani.
Padahal, orang yang melakukan vasektomi, ujar Fajar, dapat memulihkan kesuburannya lewat tindakan rekanalisasi atau penyambungan kembali saluran sperma. Namun, angka keberhasilannya masih rendah. Selain angka keberhasilannya rendah, Hani menambahkan, tindakan operasinya bakal sulit.
Karenanya, komunikasi, informasi, edukasi, serta konseling oleh tenaga kesehatan harus dilakukan guna memastikan mereka yang memilih vasektomi adalah yang mantap tak akan menambah anak lagi.
Meski begitu, bukan berarti tindakan in tanpa risiko. Fajar menyebut, pria yang melakukan vasektomi bakal mengalami rasa nyeri, pendarahan, dan infeksi pada bekas luka tindakan. Selain itu, dapat terjadi rekanalisasi secara spontan, yang memungkinkan terjadinya kehamilan pada pasangan.
“Jika hal tersebut terjadi, segera datang ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan penanganan,” ujar Fajar.