Salsa, mantan guru di Jember, Jawa Timur, mesti memenuhi panggilan ke Kantor Polres Jember pada Minggu (12/3) untuk memberikan keterangan terkait kasusnya. Pekan lalu, video syur Salsa viral di media sosial. Setelah itu, dia memberikan klarifikasi dan meminta maaf.
Tak lama usai membuat video permintaan maaf, Salsa melangsungkan pernikahan. Polres Jember sendiri memanggil Salsa untuk diperiksa sebagai saksi.
“Kami masih mendalami kasus Salsa ini dari kemungkinan adanya paksaan untuk melakukan aksi tersebut oleh orang lain atau memang Salsa yang sengaja melakukan sendiri,” kata Kasat Reskrim Polres Jember Angga Riatma, Rabu (12/3).
Salsa bakal terancam terjerat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan porngrafi, jika polisi menemukan bukti Salsa sengaja melakukan perbuatannya.
Padahal, dalam video klarifikasi di akun TikTok-nya beberapa waktu lalu, Salsa mengaku ditipu seorang pria yang dikenalnya melalui media sosial. Pria itu mengaku sebagai seorang pengusaha dari Kalimantan dan kerap memberikan janji-janji manis kepada Salsa.
Hingga akhirnya, Salsa diminta melakukan video call dengan adegan syur. Video itu lalu disebarluaskan pelaku di media sosial.
Menurut Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, kasus video syur yang menimpa Salsa seharusnya menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekesaran Seksual (UU TPKS), bukan Undang-Undang Pornografi. Sebab, kata dia, implementasi dari Undang-Undang Pornografi sering menjadikan korban sebagai tersangka.
“Salsa adalah korban. Harusnya (memakai) Undang-Undang TPKS Pasal 14. Kalaupun (pakai) UU Pornografi, sebetulnya ada perlindungan orang yang dipaksa, enggak bisa dikriminalisasi,” ujar Maidina kepada Alinea.id, Minggu (16/3).
Senada dengan Maidina, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tiasri Wiandani menilai, jika dikenakan UU Pornografi, Salsa bisa menjadi tersangka. Sebab, UU Pornografi memiliki tren mengkriminalisasi perempuan korban dari konten porno di ranah digital, kendati terpaksa dilakukan dengan bujuk rayu atau penipuan.
“Seharusnya yang digunakan Undang-Undang TPKS karena dia dieksploitasi, (pelaku) mengambil keuntungan dari perekaman video itu, dan dia ditipu daya oleh pelaku,” kata Tiasri, Minggu (16/3).
“Semestinya korban ini dilindungi dengan Undang-Undang TPKS, dan yang melakukan tipu daya itu yang mesti ditangkap.”
Lebih lanjut, Tiasri mengatakan, polisi masih banyak yang menggunakan perspektif Undang-Undang Pornografi dalam menangani perempuan korban konten pornografi. Padahal, ada Undang-Undang TPKS yang lebih progresif memberi kepastian hukum.
“Kalau menggunakan Undang-Undang TPKS, polisi harus memberikan pemenuhan hak korban,” tutur Tiasri.
“Dalam kasus Salsa, dia menjadi korban tipu daya dan eksploitasi seksual melalui perekaman video. Akhirnya disebarluaskan.”
Menurut Tiasri, kalau Undang-Undang TPKS sudah sah dan belaku, seharusnya beleid ini yang menjadi pegangan, panduan, dan dorongan implementasi dalam kasus-kasus kekerasan seksual, di mana korban mengalami tipu daya dari pelaku dan pelaku memanfaatkan kerentanan korban dengan iming-iming janji.
“Sudah ada kepastian hukum UU TPKS, semestinya polisi menjalankan komitmen implementasi UU TPKS,” kata Tiasri.