Dimas Prakoso, 28 tahun, paham wayang golek bukanlah tradisi budaya yang populer di kalangan anak muda, terutama generasi Z. Menurut dalang muda asal Bogor, Jawa Barat, itu, tak banyak anak muda yang mau bersusah payah mempelajari tradisi wayang.
Supaya tetap eksis, Dimas kini memilih menggelar pagelaran wayang golek secara daring. Selain "manggung" via Instagram dan Youtube, Dimas juga rutin membagikan beragam konten terkait wayang lewat media sosial miliknya.
"Saya sadar kalau generasi muda sekarang lebih sering mengonsumsi konten digital dibandingkan menghadiri pertunjukan langsung. Kalau saya tetap bergantung pada format pertunjukan konvensional saja, saya bisa kehilangan banyak audiens," kata Dimas saat berbincang dengan Alinea.id, belum lama ini.
Menghadirkan cerita-cerita perwayangan yang tetap relevan di kalangan gen Z, kata Dimas, tentu tak mudah. Dalam membawakan kisah-kisah klasik perwayangan, Dimas harus berhati-hati agar esensi cerita tak hilang.
"Misalnya, saya pernah membawakan cerita klasik Mahabharata dengan gaya lebih ringan dan diselipkan humor khas Gen Z. Selain itu, saya juga mengadaptasi tren, misalnya membuat video pendek yang lebih mudah dikonsumsi di TikTok dan Instagram reels," ujar dia.
Pertunjukan tradisi budaya, menurut Dimas, tak mesti disajikan sama seperti dulu. Dengan sentuhan digitalisasi, pertunjukan budaya seperti wayang golek, justru bisa tetap relevan. Apalagi, jika konten-konten yang diunggah di media sosial, bisa memantik ketertarikan audiens dan menumbuhkan kecintaan mereka.
"Saya melihat ada peningkatan ketertarikan. Dulu, audiens saya kebanyakan orang yang memang sudah akrab dengan budaya wayang. Tapi sekarang saya sering mendapat komentar dari anak muda yang bilang mereka baru pertama kali menonton wayang dan ternyata menarik," ujar Dimas.
Ki Suyatna, 68 tahun, dalang senior asal Bogor, sepakat dengan argumentasi Dimas. Menurut dia, digitalisasi pertunjukan budaya bukan ancaman bagi kelangsungan tradisi, melainkan tantangan.
"Dulu, wayang itu bagian dari kehidupan. Sekarang, kalau mau tetap hidup, ya, harus masuk ke kehidupan mereka (audiens). Entah lewat YouTube, game, atau apa pun yang mereka suka," kata Suyatna kepada Alinea.id.
Belakangan, konten-konten yang mempromosikan budaya semakin menjamur di TikTok dan Instagram. Sejumlah akun mengemas sejarah kuliner tradisional, tarian daerah, hingga filosofi batik dengan cara yang lebih ringan dan menarik. Ada juga yang memadukan musik gamelan yang di-remix menjadi lo-fi beats.
Hal itu seturut isi survei Lembaga Kebudayaan Nusantara 2024. Dalam sigi itu, tercatat hanya 35% anak muda dari kalangan gen Z yang benar-benar memahami budaya daerah mereka. Sebanyak 60% lebih tertarik pada bentuk yang sudah dikemas ulang, seperti fusion food atau musik remix.
Alya, 23 tahun, mahasiswa yang aktif di komunitas seni daerah, mengakui bahwa budaya lokal punya daya tarik tersendiri. Ia mengakui tak mudah membuat tradisi budaya dicintai anak muda.
"Dulu saya kurang tertarik. Tapi setelah ikut komunitas, saya sadar budaya kita itu keren. Masalahnya, banyak teman saya yang cuma tertarik kalau itu viral atau Instagramable," katanya kepada Alinea.id.
Ia sepakat agar seni pertunjukan dan tradisi mesti dipromosikan lewat konten-konten digital di media sosial. Menurut dia, tak banyak anak muda yang mau meluangkan waktu menghadiri pertunjukan seni budaya.
"Kita tidak bisa memaksa anak muda menyukai sesuatu dengan cara lama. Kalau budaya dibuat relevan, mereka pasti peduli," imbuh dia.
Pintu masuk
Pengamat budaya dari Universitas Indonesia (UI) Sinta Rahayu mengamini digitalisasi merupakan salah satu cara untuk merawat eksistensi tradisi lokal yang kian tergerus kemajuan zaman. Persoalannya, masih banyak anak muda mengapresiasi budaya lokal di media sosial hanya karena ikut-ikutan.
"Ketertarikan gen Z terhadap budaya lokal sering kali hanya sebatas tren. Mereka menikmati versi yang sudah dikemas ulang, tapi tidak selalu memahami nilai di baliknya. Kita harus membedakan antara apresiasi dan konsumsi budaya," kata Sinta saat berbincang dengan Alinea.id.
Ia mencontohkan tren memakai batik modern di kalangan anak muda. Batik ditempatkan sebagai bagian dari gaya berbusana sehari-hari. Namun, hanya sedikit yang benar-benar tahu sejarah batik atau bahkan motif batik yang mereka kenakan.
"Begitu juga dengan musik tradisional yang di-remix. Itu memang bisa menarik perhatian lebih banyak orang, tapi jika hanya sekadar konsumsi hiburan tanpa pemahaman budaya, lama-lama nilai aslinya bisa hilang," ujar Sinta.
Digitalisasi, kata Sinta, tidak bisa menggantikan pengalaman langsung. Namun demikian, penyebarluasan konten budaya di media sosial bisa menjadi pintu masuk bagi anak muda untuk mengenal budaya mereka sendiri. Yang terpenting adalah memastikan bahwa budaya tetap disampaikan dengan esensinya, bukan hanya sebagai sesuatu yang dikomodifikasi tanpa makna.
"Misalnya, konten kreator yang mengangkat budaya bisa menyertakan narasi sejarah atau makna filosofi di baliknya. Selain itu, pemerintah dan komunitas budaya juga perlu aktif membuat program yang melibatkan anak muda secara langsung, seperti lokakarya atau pertunjukan interaktif," jelasnya.