Apakah dunia akan kiamat setelah asteroid berukuran sedang menghantam bumi? Hal itu berusaha dijawab para peneliti dari Center for Climate Physics, Institute for Basic Science (IBS) Pusan National University, Korea dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Science Advances (2025).
Para peneliti itu, Lan Dai dan Axel Timmermann, menyajikan skenario baru tentang bagaimana iklim dan kehidupan di bumi bakal berubah sebagai respons terhadap potensi serangan aseroid berukuran sedang, kira-kira 500 meter, di masa depan.
Tata surya penuh dengan objek yang orbitnya dekat dengan bumi. Sebagian besar memang tak menimbulkan ancaman apa pun. Namun, beberapa di antaranya telah diidentifikasi seabgai objek dengan kemungkinan menabrak bumi.
Salah satunya asteroid Bennu dengan diameter sekitar 500 meter. Diperkirakan, asteroid itu punya peluang satu banding 2.700 untuk bertabrakan dengan bumi pada September 2182.
Menurut situs Institute for Basic Science, untuk menentukan dampak potensial dari hantaman asteroid terhadap iklim, tumbuhan, dan plankton di lautan, para peneliti berupaya melakukan simulasi skenario tabrakan ideal dengan asteroid berukuran sedang menggunakan model iklim mutakhir.
Dampak tabrakan tersebut diwakili oleh injeksi besar-besaran beberapa ratus juta ton debu ke atmosfer bagian atas. Tak seperti penelitian sebelumnya, riset baru ini juga melakukan simulasi ekosistem darat dan laut, serta reaksi kimia kompleks di atmosfer.
Mulanya, dampak tabrakan akan menciptakan kawah yang besar dan menyebabkan material menyembur ke udara di dekat lokasi tabrakan. Tabrakan itu juga bakal menghasilkan gelombang kejut dan gempa bumi yang kuat. Jika menghantam lautan, asteroid Bennu bakal memicu tsunami besar dan melontarkan sejumlah besar uap air ke udara.
Menggunakan superkomputer IBS Aleph, para peneliti menjalankan beberapa skenario dampak debu untuk tabrakan asteroid Bennu dengan bumi. Sebagai respons terhadap injeksi debu sebesar 100-400 juta ton, simulasi model superkomputer menunjukkan gangguan dramatis pada iklim, kimia atmosfer, dan fotosintesis global dalam 3-4 tahun setelah tabrakan.
Untuk skenario yang paling intens, peredupan matahari akibat debu akan menyebabkan pendinginan permukaan global hingga 4 derajat Celsius, pengurangan curah hujan rata-rata global sebesar 15%, dan penipisan ozon yang parah sekitar 32%.
“Dampak musim dingin yang tiba-tiba akan menyebabkan kondisi iklim yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman,” kata Lan Dai, dikutip dari Science Alert.
“Hal ini kemungkinan akan menyebabkan gangguan besar pada ketahanan pangan global.”
Akan tetapi, tak semuanya suram. Saat para peneliti menyelidiki data model laut dari simulasi, mereka menemukan pertumbuhan plankton menunjukkan perilaku yang sama sekali berbeda. Alih-alih pengurangan yang cepat dan pemulihan yang lambat selama dua tahun di daratan, justru plankton di laut pulih dalam waktu enam bulan dan meningkat setelahnya.
Perilaku tak terduga itu dikaitkan dengan zat besi dalam debu asteroid dan material yang terlempar dari bumi saat terjadi benturan, nutrisi yang membantu alga tiruan tumbuh subur. Simulasi iklim dan ekologi dampak tabrakan asteroid Bennu ini dirata-ratakan selama 24 bulan.
Dikutip dari Earth Sky, National Aeronautics and Space Administration (NASA) para ilmuwan sudah melakukan penelitian soal asteroid Bennu dan mengambil sampel untuk dipelajari. Pada 29 Januari 2025, NASA menyatakan sampel itu mengandung molekul yang merupakan bahan penyusun kehidupan di bumi.
Bennu mengandung kelima basa nukleotida yang membantuk DNA dan RNA di bumi. Asteroid itu mengandung 14 dari 20 asam amino yang ditemukan dalam protein bumi. Namun, pada dasarnya, struktur kimia molekul di Bennu tidak seperti yang ada di bumi.
Melansir CNN, meski manusia modern belum pernah mengalami hantaman asteroid, Dai membandingkan dampak lingkungan dengan bencana yang membuat sinar matahari terhalang seperti letusan gunung berapi besar.
Efek pendinginan global yang diperkirakan dalam penelitian ini sebanding dengan apa yang terjadi ketika Gunung Toba di Sumatera Utara mengalami letusan hebat—yang dianggap sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah bumi, mengganggu iklim global 74.000 tahun silam.
“(Penelitian) ini sangat menarik karena menunjukkan dampak yang relatif kecil sekalipun dapat mengeluarkan cukup banyak debu untuk membatasi fotosintesis secara signifikan, yang menyebabkan masalah serius dalam pasokan makanan,” ujar asisten profesor ilmu bumi dan planet di Harvard University, Nadja Drabon kepada CNN.
"Banyak dari dampak masa lalu itu jauh lebih besar, dengan efek yang sering kali lebih parah dan berlangsung lebih lama.”