close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi guru besar. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi guru besar. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Jumat, 25 Oktober 2024 15:59

Yang harus diperhatikan dari pengangkatan guru besar oleh perguruan tinggi

Permendikbud Ristek Nomor 44 Tahun 2024 mengatur soal profesi, karier, dan penghasilan dosen.
swipe

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek)—sekarang Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek)—beberapa waktu lalu menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen.

Dikutip dari Antara, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Abdul Haris mengatakan, Permendikbud Ristek itu menyederhanakan aturan pengangkatan, pemindahan, dan sertifikasi dosen, serta meningkatkan otonomi perguruan tinggi dalam menentukan karier dosen.

Pengangkatan guru besar atau profesor pun diserahkan kepada perguruan tinggi sepanjang tetap mengikuti norma, standar, prosedur, kriteria, dan pemerintah. Catatan penting yang dibahas saat rapat sosialisasi pada Senin (9/9) salah satunya, mulai 1 Januari 2025 gelar guru besar bakal diberikan perguruan tinggi, bukan lagi diberikan negara.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus menilai, skema saat ini tidak memungkinkan seorang dosen tetap bergelar doktor untuk memperoleh gelar guru besar dalam waktu cepat. Sebab, doktor harus memiliki pengalaman mengajar minimal 10 tahun sebagai dosen tetap, dan diajukan oleh promotor dari kampus.

Menurut Doni, sejauh norma dalam Permendikbud Ristek 44/2024 ditaati, kualitas guru besar yang diberikan akan tetap dapat terjaga. Kelebihannya, pengusul gelar guru besar bukan karena usaha seorang dosen semata, tetapi juga ada pengakuan dari kolegial profesor di internal dan rekan di eksternal kampus.

“Sebenarnya selama ini kesulitannya adalah ada dosen yang sulit mencapai kredit atau hubungan internal kampus tidak baik, sehingga dosen terbaik pun sulit dapat gelar profesor,” ucap Doni kepada Alinea.id, Kamis (23/10).

Sementara itu, pengamat pendidikan sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan mengaku, tidak ada masalah dengan kebijakan ini. Namun, jumlah perguruan tinggi di Indonesia cukup banyak, dengan berbagai macam level. Maka dari itu, tingkatan setiap perguruan tinggi harus diperhatikan lebih rinci.

Kemudian, kata dia, tunjangan bagi para guru besar harus diperjelas. Nantinya akan ditanggung pemerintah atau pihak kampus. Nominalnya pun harus diperhatikan, sama atau tidak antara perguruan tinggi negeri dan swasta.

“Sebab, begitu pengangkatan perguruan tinggi juga harus memperhitungkan guru besar itu sendiri. Jadi, tidak mungkin pas ngangkat, terus (bilang) ‘kami hanya mampu (bayar) segini’. Tidak bisa begitu,” ujar Cecep, Kamis (24/10).

Cecep menyampaikan, dengan lahirnya guru besar baru di kampus diharapkan memperkuat sumber daya manusia (SDM) dan memberikan efek domino tri dharma perguruan tinggi.

“Standardisasi pun harus dipastikan agar jelas. Tujuannya, meski berbeda akreditasi, tapi level setiap guru besar tersebut memang diakui nantinya secara nasional,” tutur Cecep.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan