Masyarakat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau tengah bergelut dengan dugaan tipuan persetujuan relokasi untuk memuluskan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City. Hal itu tercantum dalam Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Riau bertajuk Kronik PSN Rempang Eco-City: Kontroversi Investasi Tiongkok dan Resistensi Masyarakat Rempang (Juli, 2024).
Laporan setebal 45 halaman itu mengungkap serangkaian siasat pemerintah mengakali warga agar menyingkir dari lokasi PSN Rempang Eco-City. Mulanya, pada laporan itu dijelaskan, masyarakat Rempang akan direlokasi ke kawasan Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang.
Masyarakat dijanjikan 500 rumah dengan tipe 45, lengkap dengan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah ibadah, pusat layanan kesehatan, olahraga, dan sosial, serta fasilitas penunjang transportasi darat dan laut. Permukiman baru itu akan dibangun di lahan seluas 431 hektare, diberi nama Kampung Pengembang Nelayan Maritime City.
Selain mendapatkan rumah, warga pun dijanjikan dibebaskan dari biaya uang wajib tahunan (UWT) selama 30 tahun, gratis pajak bumi dan bangunan (PBB) selama lima tahun, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Sambil menunggu pembangunan hunian selesai, Badan Pengusahaan (BP) Batam menyiapkan hunian sementara, di antaranya Rusun BP Batam, Rusun Pemkot Batam, Rusun Jamsostek, serta beberapa ruko dan rumah. Ada pula biaya hidup sebesar Rp1,2 juta per orang dalam satu kepala keluarga (KK) dan biaya sewa rumah Rp1,2 juta per bulan.
Namun, akhirnya rencana relokasi ke Dapur Tiga dibatalkan. Hal itu disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada September 2023. Bahlil menggunakan istilah “digeser” sebagai pengganti relokasi. Lokasi pemindahan diubah menjadi ke Tanjung Banon.
Pemindahan lokasi ini tidak sepenuhnya disukai Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam, Muhammad Rudi. Ia lebih memilih Dapur Tiga karena diklaim bisa membangun fasilitas lebih lenkap dan mudah menata lokasi tersebut.
Lewat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah kembali membujuk warga dengan janji akan memberikan sertifikat hak milik (SHM) kepada warga yang direlokasi dan masyarakat Tanjung Banon, membangun dermaga, dan menyiapkan peraturan presiden (perpres) untuk menjamin realisasi semua janji pemerintah.
Meski begitu, warga tetap menolak untuk dipindahkan dari kampung halaman mereka. Terjadi beberapa aksi demonstrasi menolak relokasi. Misalnya, aksi yang dilakukan ketika kedatangan Bahlil di Tanjung Banon pada 6 Oktober 2023 dan saat peletakan batu pertama pembangunan rumah contoh pada 10 Januari 2024. Masyarakat Tanjung Banon yang mengelola lahan di lokasi pembangunan permukiman juga dipaksa mengosongkan lahan.
Masyarakat melakukan aksi memperingati peristiwa bentrokan 7 dan 11 September 2023./Foto Walhi Riau
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring, dalam “Catatan Diskusi Peluncuran Kajian Walhi Riau” menyebut, kajian yang dilakukan Walhi Riau memuat fakta sengkarut lahan di Rempang, antara lain Pulau Rempang bukan pulau kosong; soal transformasi proyek pengembangan kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE) Pulau Rempang menjadi proyek Rempang Eco-City, yang selanjutnya ditetapkan sebagai salah satu PSN; relasi dan sejarah proyek Rempang Eco-City dan investasi perusahaan asal China, Xinyi; serta cerita represif di balik PSN Rempang Eco-City.
Menurut Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sekaligus tim advokasi solidaritas nasional untuk Rempang, Iwan Nurdin, kasus Rempang adalah potret nyata penyingkiran masyarakat akibat negara memfasilitasi investasi dengan dalih kepentingan publik, berupa PSN.
Ia berujar, semestinya PSN dirancang untuk memberi manfaat bagi masyarakat, bukan memberi kemudahan bagi investor. Model investasi yang mengatasnamakan PSN, kata Iwan, membuat masyarakat Rempang harus berhadapan dengan aparat keamanan. Padahal, di balik proyek eco-city ada investasi proyek industri kaca.
“Dengan dalih PSN, negara menggunakan pemerintah daerah, kepolisian, dan penegak hukum untuk memuluskan investasi,” ucap Iwan kepada Alinea.id, Jumat (19/7).
“PSN itu harus berdasar kepentingan umum, bukan kepentingan bisnis.”
Iwan menyebut, telah terjadi pemutarbalikan fakta dalam kasus Rempang untuk memberikan kesan ke publik bahwa pemerintah sudah melakukan upaya persuasif, serta seolah-olah warga Rempang mendunung PSN Rempang Eco-City.
“Seolah-olah yang menolak (relokasi) itu menghalang-halangi pembangunan. Padahal enggak semacam itu. Mereka (warga) itu kan nelayan, kalau dipindah ke darat yang jauh, bagaimana?” ujar Iwan.
Iwan menilai, pemerintah sudah kebablasan memberi kemudahan kepada investor hingga harus mengorbankan masyarakat dengan merampas tanahnya. Fenomena ini, menurut Iwan, semakin memburuk sejak lima tahun periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Bayangkan saja, tiba-tiba PIK (Pantai Indah Kapuk) disebut PSN, Bumi Serpong Damai disebut PSN, taman hiburan di Sentul yang punya Harry Tanoesoedibjo itu juga disebut PSN,” kata Iwan.