Yang terjadi jika asuransi swasta menopang layanan BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengakui, BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan perlindungan terhadap semua jenis penyakit. Maka dari itu, dia mengatakan pemerintah sedang berusaha memfasilitasi masuknya lebih banyak asuransi swasta untuk menopang pelayanan BPJS Kesehatan.
Dengan masuknya asuransi swasta, pasien yang harus membayar biaya pengobatan hingga ratusan juta rupiah dan tidak ditanggung BPJS Kesehatan, maka biayanya dapat ditanggung asuransi swasta itu. Namun, konsekuensinya, kata Budi, masyarakat harus membayar lebih besar dengan asuransi swasta dibanding iuran BPJS Kesehatan.
“BPJS itu memang enggak meng-cover semuanya. Biayanya untuk masing-masing treatment, ada paket-paketnya. Jadi, misalnya paket jantung yang dia cover adalah paket pasang ring,” kata Budi dalam acara “Semangat Awal Tahun 2025” yang diadakan IDN Times di Menara Global, Jakarta Selatan, Kamis (16/1).
Dijelaskan Budi, ketidakmampuan BPJS Kesehatan menutupi biaya pengobatan segala penyakit disebabkan iurannya yang masih tergolong sangat rendah. Saat ini, iuran untuk kelas 3 adalah Rp42.000 per bulan, dengan rincian Rp35.000 dibayar peserta dan Rp7.000 disubsidi pemerintah. Sedangkan iuran untuk kelas 2 sebesar Rp100.000 per bulan dan kelas 1 sebesar Rp150.000 per bulan.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai, rencana itu berpotensi membuat bisnis asuransi diserahkan kepada sistem pasar dan menurunnya pelayanan BPJS Kesehatan.
“Nanti biaya berobat ke rumah sakit akan menjadi mahal karena nanti pelayanan BPJS akan dikurangi,” kata Timboel kepada Alinea.id, Sabtu (18/1).
Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disebutkan, jaminan kesehatan nasional wajib memberikan pelayanan preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, obat-obatan, dan barang medis habis pakai.
“Sangat jelas seluruh yang terindikasi medis,” ucap Timboel.
Walaupun memang terdapat aturan dalam Pasal 52 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan jenis pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan, seperti operasi kecantikan, operasi gigi dan mulut, dan tindakan sengaja menyebabkan penyakit.
“Mengenai asuransi kesehatan swasta, memang sekarang ini sudah berkolaborasi dan berkoordinasi. Itu ada di Pasal 51 (Perpres 82/2018), yaitu untuk selisih biaya,” ujar Timboel.
“Selisih biaya itu kelas 2, kelas 1, atau kelas VVIP dijamin, dengan pembiayaan di kelas 2 sesuai haknya. Tapi selisihnya dijamin oleh asuransi swasta, itu yang nonmedis, yang di luar medis.”
Selisih biaya yang bisa ditanggung asuransi swasta terkait dengan nonmedis, seperti biaya kamar jika BPJS Kesehatan hanya menanggung kamar kelas 2. Bila pasien naik kelas 1, kata Timboel, maka selisih biaya ditanggung asuransi kesehatan.
“Sebenarnya sudah terjadi, tetapi kembali, masalahnya adalah dia tidak membicarakan lebih konkret, lebih spesifik penyakit apa saja yang harus ditopang asuransi swasta,” tutur Timboel.
“Pernyataan Menkes kontraproduktif. Seharusnya dia memberikan pernyataan yang lebih mendorong supaya preventif, promotif, dan kuratif.”
Lebih lanjut, Timboel mengatakan, rencana pemerintah memfasilitasi masuknya lebih banyak asuransi swasta, tidak melihat realita kalau masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak mampu membeli asuransi kesehatan. Bahkan, masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang berstatus penerima bantuan iuran (PBI).
“Karena asuransi kesehatan swasta minimal Rp500.000 sampai Rp1 juta per bulan, maka Rp1 juta dikali tiga orang, sama dengan tiga juta. Mana bisa,” ujar Timboel.
“Maksud saya, dia (Menkes Budi) itu harusnya mengajak kepada orang-orang kaya untuk ikut JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan kalau memang punya asuransi swasta, tidak apa-apa. Tapi tidak menganjurkan seluruh rakyat untuk memiliki asuransi swasta. Itu tidak tepat.”
Timboel curiga, rencana pemerintah yang berupaya memfasilitasi masuknya lebih banyak asuransi swasta adalah bagian skenario mengembalikan JKN pada sistem pasar, yang menguntungkan bisnis asuransi swasta. Sedangkan negara sebagai fasilitator liberalisasi bisnis asuransi swasta.
“Jangan-jangan Menkes ini berusaha memperlebar pangsa pasar asuransi swasta untuk mengatakan JKN menjadi pelengkap asuransi swasta saja, bukan full menjadi JKN,” kata Timboel.
Jika sistem JKN takluk pada sistem pasar, menurut Timboel, orang miskin akan kesulitan mendapat pelayanan kesehatan optimal karena hanya bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan. Imbasnya, rumah sakit jauh lebih mengutamakan kelas masyarakat yang punya asuransi swasta.
“Kalau dulu orang enggak mau ke rumah sakit karena enggak punya biaya, nanti setelah diterapkan asuransi menjadi penopang JKN, maka JKN manfaatnya dikurangi dan diisi oleh sauransi kesehatan swasta,” kata Timboel.
“Nanti kembali ke zaman dulu. Biaya kesehatan mahal, orang tidak mau ke rumah sakit karena yang di-cover hanya 70% dan sebagainya.”
Sementara anggota Komisi IX DPR dari fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago menyebut, pernyataan Menkes Budi seolah tidak memahami esensi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sebab, kata dia, BPJS Kesehatan adalah amanat konstitusi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
“UU SJSM (Sistem Jaminan Sosial Nasional) itu gotong royong. Kalau kemudian diubah, maka ubah dulu undang-undangnya,” kata Irma, Sabtu (18/1).
Irma juga tak sepakat iuran BPJS Kesehatan yang rendah menjadi dalih memfasilitasi masuknya lebih banyak asuransi swasta. Semestinya, menurut Irma, orang kaya yang berobat menggunakan BPJS Kesehatan didorong untuk menggunakan asuransi swasta. Bukan menggunakan BPJS Kesehatan, yang lebih dibutuhkan rakyat miskin.
“Jika iuran ingin besar, ya harus split. Misalnya, yang memiliki gaji di atas Rp25 juta, wajib kelas 1,” ucap Irma.