Youtuber ‘ngambek’ dan muslihat raup uang dari konten
Pada 24 Juni 2020, pemilik kanal Youtube Skinnyindonesian24, kakak beradik Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez mengumumkan akan mundur dari Youtube tahun depan. Nantinya, persis 10 tahun kiprah mereka di situs berbagi video itu, 24 Juni 2021, Jovial dan Andovi tak lagi menggunakan kanal Skinnyindonesian24.
Jovial mengungkapkan alasannya dalam video berjudul “Tahun Terakhir di Youtube|Maaf & Terima Kasih” di kanal Youtube mereka. Salah satunya terkait sistem Youtube yang sudah berubah. Ia merasa, penghargaan untuk energi yang sudah dikeluarkan, sekarang tak ada lagi.
"Kalau kita ngomong dalam sistem yang disukai oleh brand dan orang-orang banyak duit adalah views (penonton), subscribers (pelanggan), likes, comments. Penghargaan itu diberikan ke channel atau konten yang isinya bagi gue bukan konten-konten terbaik," kata Jovial di video yang diunggah pada Rabu (24/6).
Menurut Jovial, konten-konten yang ada sekarang tidak layak diberi “penghargaan”. “Bukan cuma kita, banyak banget konten bagus di luar sana yang ujung-ujungnya mati enggak kelihatan karena kalau kita buka trending, yang kita lihat apa yang dibahas di LineToday, (konten) itu yang dibahas doang,” ujarnya.
Jovial dan Andovi merupakan kreator konten atau youtuber Indonesia generasi awal. Selain mereka, ada nama Raditya Dika, Reza Oktovian alias Arap, Chandra Liow dengan kanal Tim2One, Lastday Production, Bayu Skak, dan Edho Zell.
Pernyataan Jovial dan Andovi itu kemudian direspons Raditya Dika, Deddy Corbuzier, dan Chandra Liow, yang mewawancarai mereka dalam kanalnya masing-masing.
Edho Zell yang bergabung di Youtube sejak 23 November 2006 pun sepakat dengan pendapat Jovial. Di dalam video berjudul “Sebenarnya saja juga sudah mau berhenti sejak lama…” yang diunggah di kanal Youtube-nya pada 29 Juni 2020, Edho mengatakan sistem Youtube saat ini sekadar bisnis dan semata mengejar uang. Ia menyoroti fenomena kolaborasi dengan youtuber besar, yang harus membayar.
“Youtuber besar minta bayaran untuk kolaborasi puluhan juta sama youtuber kecil. Kayak, ‘ya udahlah dia kan memang sudah besar’, (tapi) enggak make sense buat saya,” ujarnya.
Edho pun menilai, konten Youtube saat ini lebih mengekspos tayangan yang sering muncul di televisi. Meski demikian, Edho mengatakan hal itu tak bisa disalahkan karena tayangan tersebut merupakan cerminan masyarakat Indonesia masa kini.
“Kalau dulu penonton Youtube terbatas, (hanya) teman-teman yang punya akses internet, wifi di rumah, tapi sekarang enggak. Sekarang semua lapisan masyarakat bisa mengakses dengan kuota yang murah, smartphone yang enggak perlu mewah,” ucapnya.
Cerminan masyarakat
Jika diperhatikan dari besarnya penghasilan, jumlah viewers, serta subscribers, youtuber generasi awal memang tersingkir. Merujuk data dari situs web socialblade.com, per 10 Juli 2020 kanal Youtube Baim Paula milik aktor Baim Wong dan istrinya Paula Verhoeven, meraih penghasilan paling tinggi di Indonesia.
Dalam sebulan, Baim memperoleh US$54.800-US$876.100 atau setara dengan Rp789,45 juta-Rp12,6 miliar per bulan. Baru bergabung pada 4 Juni 2016, kanal Youtube Baim pun melesat dengan jumlah subscribers 15 juta dan total viewers lebih dari 2 miliar.
Nama Baim sudah dikenal lewat sinetron dan film. Ia total terjun di Youtube sejak 2018, dengan konten-konten khas eksperimen sosial. Strategi memperoleh subscribers dan viewers dilakukan Baim dengan sering mengadakan giveaway berupa handphone, sepeda motor, dan mobil.
Sementara youtuber dengan jumlah subscribers terbanyak diraih Atta Halilintar, dengan 24,4 juta. Sedangkan youtuber yang memiliki total viewers terbanyak adalah Ria Ricis pemilik kanal Ricis Official, dengan 2,9 miliar viewers.
Menurut aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Muhamad Heychael, konten Youtube yang ada sekarang dan dahulu, sama saja. Youtuber, kata dia, melakukan apa yang dilakukan di televisi. Youtuber yang protes terkait konten Youtube sekarang mirip acara televisi, menurut Heychael, tak menutup kemungkinan punya konten yang lebih baik.
“Tapi apakah asumsi bahwa mereka mundur karena Youtube sekarang kayak televisi itu masuk akal? Saya rasa enggak,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (9/7).
Ia melanjutkan, intinya Youtube merupakan media sosial, yang kreator kontennya hanya bertanggung jawab pada integritas kanalnya. Maka, keinginan youtuber generasi awal yang hendak pensiun dari Youtube gara-gara konten di Youtube sudah seperti televisi, dinilai Heychael tak tepat.
Heychael memandang, kondisi ini berbeda dengan pekerja media. Ia mencontohkan, jika ada wartawan yang hendak berhenti karena sudah bekerja dengan serius, tetapi rekannya hanya membuat berita sensasional, maka tindakan itu wajar. Sikap wartawan tersebut, katanya, menandakan ia punya integritas dan tak mau disamakan dengan rekannya yang kerap membuat berita sensasional.
“Bedanya Youtube sama media adalah yang satu sosial media, satu lagi institusi di mana kerja semua orang direpresentasikan oleh apa yang ada di layar atau cetak,” ucapnya.
Tak heran, ujar Heychael, konten di Youtube umumnya sensasional untuk mencari viewers dan subscribers. Hal itu membuat beberapa youtuber abai terhadap kualitas kontennya.
Sementara itu, pengamat media sosial Eddy Yansen mengatakan, kualitas konten tak bisa dipukul rata karena ukurannya sangat personal. “Bisa saja seseorang menganggap suatu konten berkualitas, tetapi yang lain berpandangan konten tersebut malah sebaliknya,” kata dia saat dihubungi, Kamis (9/7).
Dalam konteks Youtube, Eddy menjelaskan, youtuber diuji untuk saling berlomba kreativitas. Sekalipun ada artis televisi yang migrasi ke Youtube membuat konten, seperti pamer kemewahan, menurutnya tak serta merta dipilih untuk ditayangkan.
“Mereka itu justru melihat ‘oh ternyata masyarakat senang nonton yang semacam menunjukkan mobil mewah karena trending di Youtube’, makanya mereka buat terus,” tuturnya.
“Jadi, sebenarnya mereka mengikuti apa yang diminati masyarakat.”
Eddy mengungkapkan, Youtube adalah media yang liberal, semua orang pun bisa mengaksesnya. Karenanya, konten yang ada di Youtube berkembang sesuai minat masyarakat. Maka, selain pamer kemewahan, banyak konten yang menyajikan prank dan mistis, yang merupakan cerminan dari kondisi sosial masyarakat di Indonesia.
“Artinya, kalau konten itu tidak diminati masyarakat, maka semestinya konten itu otomatis tidak berkembang juga,” katanya.
Mengikuti kemauan masyarakat, ujar Eddy, perlu dilakukan agar tak ditinggal penonton, sekalipun mereka punya segmen dan tema khusus dalam berkarya.
“Dia bisa saja memilih satu segmen, namun cara penyajian selalu di-update,” ujarnya.
Fenomena clickbait
Meski begitu, pakar media sosial dari Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi paham sebagai sebuah profesi, menjadi seorang youtuber tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, setidaknya setiap pekan, mereka harus memikirkan sebuah ide untuk membuat konten.
“Itu kebayang stresnya. Kebayang gimana mereka harus mencari ide terus yang baru,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (9/7).
Dalam situasi demikian, menurut Ismail, tak heran bila beberapa youtuber mencari konten yang terbilang mudah, seperti prank atau pamer kemewahan. Alasannya, konten yang berkualitas, tidak bisa cepat jadi.
“Yang gampang, ya pamer kemewahan. Terus melihat karakter orang Indonesia kan sukanya berkhayal, (jadi) yang ada di televisi itu dipindahin,” katanya.
Fenomena yang berkembang sekarang, demi meraup viewers dan subscribers, youtuber juga menggunakan judul-judul clickbait. Menanggapi hal itu, Ismail mengatakan, alasan youtuber membuat judul clickbait karena penggunanya itu-itu saja, sedangkan kontennya semakin banyak.
Ismail mengakui, bila dianalisis, penggunaan judul sensasional memang berpengaruh merangsang seseorang untuk menonton. “Judul yang membuat penasaran, yang aneh, itulah yang banyak yang dapatkan kunjungan,” ucapnya.
Tak bisa dibantah pula, menurut Ismail, clickbait dan iklan saling terkait. Jika judul konten clickbait itu berhasil menggaet penonton dan sering ditonton, maka iklan otomatis kerap muncul.
“Clickbait itu hubungan sama adSense (program kerja sama periklanan melalui media internet yang dibuat Google). Yang membuat video, ingin dapat adSense yang banyak. Jadi, arahnya ke sana,” ujarnya.
“Supaya dapat view yang banyak, supaya dapat duit yang banyak dari adSense, makanya mereka bikin clickbait supaya orang pada view.”
Ismail mengatakan, akar masalah fenomena clickbait adalah rendahnya literasi di Indonesia. Menurut dia, bila publik banyak yang protes atas judul sensasional, maka bisa dibilang komunitas masyarakat itu tingkat literasinya sudah baik.
Di sisi lain, Heychael memiliki saran untuk youtuber yang ingin hengkang dari Youtube. Ia mengatakan, sebaiknya youtuber yang kecewa karena banyaknya konten seperti acara televisi, bertahan saja dan melakukan kritik terhadap kanal-kanal itu.
Namun, ia mengingatkan, sebelum menggugat youtuber yang membuat konten tak mendidik, mereka harus memastikan konten yang dimuat di kanalnya memang berkualitas dan mendidik.
“Bikin koalisi ‘youtuber waras’ terus usulkan berbagai skema. Kalau algoritmanya susah diutak-atik, ajukan skema lain, misalnya support pendanaan untuk channel-channel yang mendidik,” ucapnya.