Selain sebagai pelengkap di meja makan masyarakat Indonesia, tersimpan pula kisah menarik orang-orang yang bekerja terkait pembuatan sambal.
Retno Andam Suri dalam bukunya Rendang Traveler (2012), mengatakan, di daerah kuliner Minangkabau, Sumatera Barat, ada profesi wanita yang sehari-hari menggiling cabai menggunakan cobek batu dan batu giling. Profesi ini disebut manggiliang lado, yang saat ini masih terdapat di pasar-pasar tradisional seperti di Pasar Ibuh, Payakumbuh.
Dalam sehari, perempuan penggiling cabai di Payakumbuh bisa menggiling hingga 30 kg cabai segar. Kualitas gilingan cabai yang dihasilkan dapat dipesan sesuai dengan kebutuhan, yaitu digiling halus untuk campuran kuah gulai, kalio, atau rendang, dan digiling kasar untuk dendeng balado.
Adapun anggapan lain yang berkembang di warga lokal Sunda dalam ungkapan “sambal medok, sawah ledok, bon denok”. Ini mengisyaratkan kepuasan seorang suami memiliki istri yang pintar memasak yakni membuat sambal, sawah yang subur, dan istri yang cantik.
Pandangan itu terkait dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang lebih suka menggunakan cobek keramik tanah liat dan ulegan yang terbuat dari kayu atau pangkal batang bambu. Mereka meyakini pembuatan sambal menggunakan peralatan itu lebih memberikan kepastian rasa sambal yang “medok”.
Di sisi lain, keberadaaan sambal sebagai bagian dari budaya Indonesia berfungsi sebagai alat hukum di beberapa komunitas warga kuno.
Sebagai contoh, sambal dipakai untuk menghukum budak yang mangkir atau melarikan diri dari kerja paksa.
“Sambal juga dipakai sebagai metafora oleh orang tua Sunda zaman dahulu untuk menakuti dan menghukum anaknya jika berlaku nakal,” tulis Fadly.