Sebagai sebuah biopik yang kehadirannya ditunggu oleh fans Queen sejak delapan tahun lalu, naskah skenario yang dihadirkan memang terasa begitu dangkal. Penantian bertahun-tahun untuk film ini jadi terasa tak berarti. Pilihan untuk lebih besar menonjolkan bagian konser di Wembley membuat film ini tak ubahnya medley lagu Queen saja.
Ya, konser di Wembley memang sangat menakjubkan. Kita bisa mendengar lagu-lagu jagoan, seperti “Radio Ga Ga”, “Hammer to Fall”, “Crazy Little Thing Called Love”, “We Will Rock You”, “We Are the Champions”. Namun, kita hampir tak akan bisa menemui narasi yang mendalam soal sosok gaek di balik Queen.
“Queen tidak mengikuti formula,” kata anggota Queen sekitar tahun 1975. Tapi entah mengapa saya merasa film ini yang tak mengikuti formula. Film yang mulanya menggandeng Sacha Baron Cohen sebagai Freddy tersebut sangat di luar ekspektasi.
Film hanya disederhanakan sebatas fase hidup Freddy yang hitam putih, dikelilingi orang baik, juga orang jahat yang mengambil keuntungan darinya. Apakah hidup Freddy sesederhana itu? Saya kira tidak. Telegraph menulis, mungkin formula film ini hanya satu, “Ayo segera selesaikan biopik ini,” alih-alih menggali cerita lebih dalam.
Singkatnya, film ini hanya berupaya merayakan gemerlap Freddy sebagai roker. Namun, ia alpa menceritakan Freddy sebagai manusia yang punya banyak pergulatan.