Sebanyak 15 negara menolak sebuah resolusi tentang komitmen responsibility to protect (R2P) dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pekan lalu.
Resolusi itu umumnya menyerukan agar R2P jadi salah satu agenda tahunan di sidang PBB dan meminta Sekretaris Jenderal PBB merilis laporan berkala mengenai komitmen negara-negara menjalankan R2P dalam sidang tahunan. Sebanyak 115 negara setuju resolusi itu dan 28 memilih abstain.
Di sidang itu, Indonesia termasuk negara yang mem-voting "No". Dalam daftar aib (list of shame) yang dirilis UN Watch, Indonesia bergabung dengan negara-negara yang tidak demokratis seperti Korea Utara dan China.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan sikap yang ditunjukkan Indonesia di sidang umum PBB mengecewakan. Apalagi, Indonesia saat ini merupakan anggota tidak tetap di Dewan HAM PBB.
"Sikap itu memperlihatkan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia di dunia," kata Usman saat dihubungi Alinea.id, Jumat (21/5)
Penolakan itu, lanjut Usman, juga mencerminkan pemerintah tak serius menangani persoalan-persoalan HAM di ranah domestik. "Indonesia terlihat setengah hati dalam memperbaiki keadaan hak asasi manusia di negeri sendiri, seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan kasus penanganan HAM berat lainnya," kata Usman.
R2P disepakati secara global pada 2005. Konsep R2P lahir sebagai respons kegagalan komunitas internasional dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Rwanda dan negara-negara pecahan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada tiga pilar tanggung jawab yang disepakati negara-negara. Pertama, setiap negara wajib melindungi warga negaranya dari empat kejahatan keji: genosida, kejahatan perang, kejatahan terhadap kemanusian, dan pembersihan etnis.
Kedua, komunitas internasional punya tanggung jawab untuk mendorong dan memastikan kewajiban tersebut dipenuhi semua negara. Terakhir, komunitas internasional harus siap menjalankan aksi-aksi kolektif jika sebuah negara gagal melindungi warga negaranya.