Untuk memperbaiki harga tebu di tingkat petani, Kementan telah mengeluarkan Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT) kepada 15 perusahaan gula swasta. Isinya, sistem bagi hasil yang selama ini berjalan akan digantikan dengan sistem beli putus.
Melalui sistem beli putus, petani akan mendapat harga jual yang lebih tinggi. Sebelumnya, petani tebu hanya mendapatkan 66% hasil penjualan dengan sistem bagi hasil.
Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menjelaskan sistem beli putus dan sistem bagi hasil memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) industri gula.
Menurutnya, sistem beli putus lebih menguntungkan petani karena tidak perlu menanggung resiko kehilangan hasil pengolahan tebu dan bisa menerima uang lebih cepat. Imbasnya, PG membutuhkan dana lebih besar untuk membeli tebu petani dan harus membuat persyaratan agar kualitas tebu tetap terjaga.
Sebaliknya, petani harus ikut menanggung risiko kehilangan gula dalam pabrik dengan sistem bagi hasil. Beban biaya pabrik dalam mengolah tebu berkurang lantaran mendapat jatah hasil penjualan sebesar 34%.
“Kalau sistem beli putus kesannya transaksional atau jual beli saja, tidak ada faktor pembinaan dan lain-lain. Kalau sistem bagi hasil yang ditonjolkan kemitraannya dan bagi hasilnya pun tidak tetap, tetapi akan lebih tinggi kalau kualitas tebu atau rendemennya lebih baik,” terangnya.
Alinea.id mengulas nasib petani tebu kini pasca musim panen Juni lalu. Simak artikel selengkapnya disini.