Berasal dari gabungan kata gastronomi dan diplomasi, gastrodiplomasi diartikan secara sederhana sebagai upaya mengenalkan identitas atau budaya suatu negara lewat kuliner. Mulai dikenal luas pada dekade 2000-an, gastrodiplomasi kini telah lazim dipraktikan berbagai negara di belahan dunia.
Di Thailand, misalnya, gastrodiplomasi mengambil bentuk dalam kampanye kuliner bertajuk program "Global Thai". Kampanye itu diluncurkan pada 2002, disusun pemerintah, dan dibiayai langsung oleh negara.
Kampanye itu terbilang sukses. Pada 2011, tercatat ada 10 ribu restoran Thailand di berbagai belahan dunia atau naik hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah restoran Thailand pada awal kampanye Global Thai. Angka itu naik lagi dua kali lipat pada 2019.
Di Korea Selatan (Korsel), gastrodiplomasi bertajuk "Global Hansik" dilucurkan pada 2009. Hansik berarti masakan Korea. Anggaran sebesar US$77 miliar digelontorkan pemerintah Korea untuk mempopulerkan kulinernya ke seluruh penjuru dunia.
Menyertai kampanye globalnya, pemerintah Korsel juga membuka sebuah lembaga riset khusus kimchi, mendorong kuliner Korea jadi mata kuliah khusus di sekolah-sekolah memasak, dan meluncurkan truk-truk makan Korea.
Menurut pakar gastrodiplomasi Universitas Jember Agus Trihartono, gastrodiplomasi juga dipraktikkan di Taiwan, Peru, Vietnam, dan Jepang. Jika Taiwan dan Peru mengandalkan peran pemerintah, gastrodiplomasi Vietnam bertumpu pada jaringan diaspora. Adapun Jepang lebih mengandalkan chef lulusan sekolah masakan Jepang.
"Jika dibandingkan, peran pemerintahnya dalam pengembangan gastrodiplomasi di kedua negara (Jepang dan Vietnam) tersebut relatif minim," jelas Agus saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Praktik gastrodiplomasi, kata Agus, sebenarnya sudah ada sejak era Soekarno. Ketika Indonesia menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Afrika di Bandung pada 1955, misalnya, Soekarno makanan khas Indonesia untuk mengambil hati petinggi negara lain.
"Soekarno yakin dengan keanekaragaman makanan kita. Dia cerdas sekali. Dan dampaknya juga luar biasa bagi Indonesia, (jadi) percaya diri," katanya.
Tak hanya itu, Soekarno juga pernah meminta istrinya, Hartini mengumpulkan resep-resep makanan khas Nusantara. Kumpulan resep itu kemudian dibukukan oleh pemerintah dengan judul Mustika Rasa. "Sampai sekarang saya kira belum ada karya lain (buku makanan) yang resmi sebagai dokumen negara," jelas Agus.
Sayangnya, gastrodiplomasi tak berkembang banyak sejak era Soekarno. Padahal, dengan kekhasan dan varian makanan yang jumlahnya lebih dari 3.000, Indonesia punya potensi besar untuk menjual kulinernya di kancah internasional.