Ratusan warga Tanjung Priok menggelar aksi unjuk rasa di depan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, pekan lalu. Mereka memprotes pernyataan MenkumHAM Yasonna Laoly yang menyebut Tanjung Priok sebagai daerah penghasil kriminal.
Menurut pengamat politik Jerry Massie, aksi protes itu merupakan indikasi masih ada residu konflik berdarah yang terjadi di Tanjung Priok. Karena itu, ia meminta pemerintah berhati-hati mengeluarkan pernyataan terkait kondisi sosial warga.
"Rangkaian peristiwa di Priok, seperti Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, peristiwa makam Mbah Priok pada 2010, itu mengendap di ingatan mereka. Konflik ini belum selesai. Residunya masih ada," kata dia saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Sejak era Orde Baru, kawasan Tanjung Priok terkenal "panas". Pada 1984, konflik berdarah sempat meletus di kawasan pelabuhan paling ramai di Indonesia itu. Ratusan orang dilaporkan tewas dalam peristiwa tersebut.
Tragedi bermula pada 8 September 1984. Ketika itu, seorang babinsa berpangkat sertu merusak pamflet yang isinya mengkritik pemerintah di Musala As-Sa'adah, Koja, Tanjung Priok. Babinsa itu disebut memasuki musala tanpa melepas sepatu dan mengguyurkan air comberan ke dinding musala.
Dua hari berselang, dua babinsa terlibat cek-cok dengan warga. Warga yang tak terima dan membakar motor salah satu babinsa. Empat warga ditahan karena peristiwa itu. Utusan warga mencoba berdamai dengan mendatangi kodim setempat, namun tak dihiraukan.
Keesokan harinya, konflik membesar setelah ribuan warga--sebagian di antaranya bersenjata tajam--mendatangi Mapolres Jakarta Utara memprotes penahanan empat rekan mereka. Di tengah jalan, warga dihadang pasukan militer bersenjata lengkap. Tanpa peringatan, warga yang memaksa merangsek ke arah mapolres diberondong peluru.
Dua dasawarsa kemudian, bentrok antarwarga dan pemerintah juga terjadi di kawasan Koja, Tanjung Priok. Kali itu, warga memprotes rencana Pemprov DKI mengeksekusi lahan makam Mbah Priok. Tiga orang tewas dalam peristiwa itu.