Pada mulanya, jilbab sebenarnya tidak dianjurkan digunakan siswi di sekolah negeri dan swasta. Pada 1982, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan surat keputusan tentang seragam sekolah negeri. Sebelumnya, sekolah mengatur sendiri seragam murid-muridnya.
Saat aturan itu terbit, seragam sekolah menjadi monoton: putih-merah untuk sekolah dasar, putih biru untuk sekolah menengah pertama, dan putih abu-abu untuk sekolah menengah atas.
Ketika itu, tidak ada variasi seragam bernuansa Islami bagi murid perempuan. Penggunaan jilbab di sekolah pun dilarang. Bahkan, tak jarang murid-murid yang memaksa berjilbab kerap dikeluarkan dari sekolah-sekolah.
Namun, aturan itu direvisi pada 1991. Ketika itu, Presiden Soeharto sedang membangun hubungan dengan kelompok Islam di Indonesia. Dengan latar belakang itu, Kemendikbud menerbitkan pedoman tentang seragam sekolah yang membolehkan pakaian khas, namun tidak spesifik menyebut jilbab atau hijab.
Satu dekade berlalu, Pemerintah Kabupaten Indramayu menerbitkan peraturan wajib berpakaian Islami dan literasi Alquran untuk siswa sekolah. Aturan serupa kemudian muncul di berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Pada 2014, penggunaan jilbab sebagai seragam sekolah diformalisasi Kemendikbud lewat Permendikbud No. 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah terbit.
Dalam beleid itu, terdapat lima ilustrasi seragam untuk murid perempuan dan laki-laki. Khusus untuk perempuan, ada ilustrasi pilihan seragam khas muslimah, yaitu kombinasi rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab.