Sejak Desember 2021, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah merilis peta lahan sawah yang dilindungi di sejumlah provinsi. Berbarengan itu, BPN juga merilis sejumlah kriteria lahan yang bakal dipertahankan menjadi lahan sawah dilindungi (LSD).
Pertama, terdapat irigasi premium di atas lahan LSD. Kedua, lahan itu punya irigasi teknis. Ketiga, punya produktivitas sekitar 4,5-6 ton per hektare sekali panen. Terakhir, memiliki indeks penanaman minimal 2 atau bisa dipanen hingga dua kali dalam setahun.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang mengatakan lahan yang sudah ditetapkan sebagai LSD juga bisa dikeluarkan dari peta yang disusun Kementerian ATR/BPN jika memenuhi sejumlah kriteria.
Salah satu kriteria ialah terdapat bangunan atau urugan sebelum SK Menteri ATR/BPN Nomor:1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta LSD pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat terbit.
"Lalu, ada PSN (proyek strategis nasional di atas lahan LSD). Ada hak atas tanah nonsawah, sempit dan terkurung, lalu ada relokasi akibat bencana alam di atas LSD beririgasi. Itu dapat dikeluarkan," terang Budi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
SK Nomor :1589/SK-HK.02.01/XII/2021 ditandatangani Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN ketika itu, pada 16 Desember 2021. Dalam SK tersebut, ditetapkan sekitar 3,8 juta hektare lahan persawahan di kabupaten/kota di delapan provinsi sebagai LSD.
Status LSD, lanjut Budi, juga bisa dipersoalkan warga yang terbukti menguasai lahan persawahan, namun belum mendirikan bangunan di atas lahan tersebut. Syaratnya, lahan tersebut harus dipastikan dimiliki warga sebelum SK Menteri ATR/BPN terbit.