Penolakan terhadap draf Omnibus Law Cipta Karya mulai kencang disuarakan kelompok mahasiswa. Di sejumlah kampus, diskusi-diskusi membahas pasal-pasal bermasalah dalam beleid sapu jagat itu digelar secara berkala.
Tak sekadar menggelar diskusi, mereka juga tengah bersiap kembali turun ke jalan sebagaimana aksi Reformasi Dikorupsi pada September 2019. Di sejumlah kota, aksi protes menolak Omnibus Law Cipta Kerja bahkan telah digelar. Namun demikian, aksi-aksi tersebut masih dalam skala kecil.
Mantan aktivis 98 Petrus Hariyanto menilai sudah sepatutnya mahasiswa memprotes Omnibus Law Cipta Kerja. Ia merasa tak ada kekuatan lain selain gerakan mahasiswa yang mampu mengimbangi kekuatan partai politik di DPR yang ingin meloloskan pasal-pasal bermasalah di RUU tersebut.
Jika dirawat dengan baik, Petrus meyakini, aktivisme politik mahasiswa bakal mendapat simpati publik dan menjadi pemantik gerakan yang jauh lebih besar.
"Pasalnya, elemen pro-Jokowi juga banyak yang tidak sepakat dengan RUU tersebut," kata saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia pun menyarankan agar mahasiswa terus menjaga hubungan baik dengan masyarakat sipil. Menurut dia, kolaborasi yang kuat antara mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil adalah kunci untuk mendapat simpati publik.
Berbeda, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyarankan agar mahasiswa tak buru-buru menolak isi Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, pangkal persoalan RUU itu terletak pada belum terakomodirnya semua kepentingan.
"Jadi, sebenarnya ada banyak kepentingan yang mesti diakomodir dalam UU ini, baik investor, pemerintah dan buruh. Tapi, belum ketemu titiknya sehingga ini menjadi perdebatan," jelas Adriana.
Ketimbang menghabiskan tenaga untuk turun ke jalan, Adriana menyarankan agar mahasiswa membuat kajian mendalam sebagai masukan kepada pemerintah untuk menambal celah yang ada dalam draf RUU tersebut. "Bila sudah menemukan formulasinya serahkan ke DPR," imbuhnya.