Peringatan ancaman krisis pangan berulangkali disampaikan Presiden Jokowi ketika awal pandemi Covid-19. Saat itu, sekitar April 2020, Presiden mengingatkan para pembantunya di kabinet untuk mengantisipasi krisis pangan. Tak ingin krisis pangan terjadi, saat itu ditelurkan program food estate atau lumbung pangan.
Kritik bertubi-tubi menyasar pemerintah. Pilihan program food estate dinilai tidak tepat. Salah satunya, sejak dikembangkan di era Orde Baru belum ada catatan food estate berhasil. Kritik pun menimpa kementerian yang ditunjuk mengeksekusi program food estate: Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Pertahanan.
Akan tetapi, Ernan Rustiadi menilai, ada keharusan bagi Indonesia melakukan ekstensfikasi lahan pangan. Sebab, menurut Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB University itu, luas lahan pangan Indonesia amat kecil: 24,7 hektare atau 13% dari luas daratan 191 juta hektare.
Setelah dibagi jumlah penduduk, luas lahan pangan per kapita amat kecil: hanya 0,095 hektare. Jauh apabila dibandingkan lahan pangan negara lain: Ethiopia 0,12 hektare/kapita, Amerika Serikat 0,5 hektare/kapita, dan China 0,12 hektare/kapita. "Luas lahan pangan Thailand per kapita 6-7 kali kita," kata dia.
Produktivitas sawah di Indonesia mencapai 5,1 ton/hektare, sementara di Thailand hanya 3 ton/hektare. Thailand bisa menjadi eksportir beras nomor satu dunia karena lahan pangan per kapita lebih besar dari Indonesia. Penduduknya pun kecil.
Selain itu, kata Ernan, produksi pangan tidak selaras dengan sebaran penduduk. Jawa yang hanya 7% dari luas Indonesia menjadi pemasok lebih dari 50% pangan-pangan utama, seperti beras, jagung, kedelai, tebu, termasuk produk ternak, sayuran dan buah-buahan. Sementara peran luar Jawa masih belum besar.
Alinea.id mengulas program food estate yang tidak bisa menghasilkan lahan subur secara instan dalam artikel ini.