Bank Perkreditan Rakyat (BPR) lahir sejak awal abad ke-19 atau masa kolonial. Sejarah awal lahirnya BPR bermula dari didirikannya Bank Kredit Rakyat (BKR) dan Lumbung Desa.
Dua lembaga ini dibangun dengan tujuan untuk membantu masyarakat, khususnya petani dan buruh agar terlepas dari jerat rentenir yang kerap mencekik rakyat dengan bunga tinggi. BPR pada masa itu lebih dikenal dengan istilah Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, dan Bank Dagang Desa.
Pemerintah Belanda, pada 1929, turut berperan serta dalam sejarah panjang lahirnya BPR dengan mendirikan Badan Kredit Desa (BKD) di Jawa dan Bali.
Lantaran kehadirannya yang sangat membantu kehidupan masyarakat kecil, pemerintah Indonesia pada 1950 akirnya turut mendorong didirikannya bank-bank pasar untuk memberikan jasa keuangan bagi pedagang pasar.
Bank-bank pasar tersebut kemudian berdasarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1988 dikukuhkan menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kebijakan ini menandai perubahan besar di sektor keuangan dan menjadi paket aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Tanah Air.
Sejak saat itu, BPR mulai berkembang pesat. Puncaknya terjadi pascakrisis moneter 1998. Syarat minimum permodalan BPR yang hanya Rp50 juta membuat banyak orang kaya dan hampir kaya tiba-tiba membangun bank.
BPR tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dalam satu tahun jumlahnya sudah mencapai 9.196 unit. Lahirnya ribuan BPR baru itu berhasil menyelamatkan Indonesia dari nelangsa krisis moneter.
Pesta pora para pemilik BPR ternyata tak berlangsung lama. Sejak medio 2000-an, ketika perekonomian Indonesia berangsur-angsur membaik, peran BPR pelan tetapi pasti mulai terlupakan.
Perkembangan teknologi yang kian pesat dan lahirnya inklusi keuangan digital membuat nasib BPR semakin di ujung tanduk. Hasilnya, ribuan BPR harus tumbang atau terlikuidasi.
Berdasarkan catatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga Juni 2019 hanya ada sebanyak 1.578 BPR dan 164 BPR Syariah (BPRS) yang tersisa di Indonesia. Jumlah ini diprediksi bakal terus tergerus mengingat semakin ketatnya persaingan di sektor keuangan era modern.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah memperkirakan, setidaknya delapan hingga sepuluh BPR bakal ‘mati’ setiap tahunnya. ‘Kematian’ ini merujuk pada dua kemungkinan, yaitu likuidasi atau konsolidasi.
Prediksi ini diperkuat dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) BPR yang selama lima tahun terakhir semakin melempem. Per Juni 2019, LPS mencatat pertumbuhan DPK BPR hanya naik 3% menjadi Rp109,17 triliun dari Rp106,19 triliun di tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah BPR/BPR Syariah turun dari 1.764 BPR/BPRS pada Desember 2018 menjadi 1.716 BPR/ BPRS pada November 2019. Angka tersebut tidak termasuk jumlah cabang BPR/BPRS yang bersangkutan.