close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi calon siswa 'uzur'. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi calon siswa 'uzur'. Alinea.id/Dwi Setiawan
Infografis
Rabu, 08 Juli 2020 13:32

Polemik batasan usia dalam PPDB 2020

Calon siswa yang usianya lebih tua diutamakan dalam PPDB berbasis sistem zonasi di DKI Jakarta.
swipe

Penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuai polemik. Bagi calon siswa yang terlalu lama menganggur, Permendikbud itu menutup pintu untuk mengenyam bangku sekolah. 

Dalam Permendikbud itu, seorang siswa dianggap tidak memenuhi syarat untuk bersekolah di SMA atau SMK jika usianya di atas 21 tahun pada 1 Juli tahun berjalan. Untuk SMP, batasannya berusia 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan. 

Kekisruhan juga muncul lantaran Permendikbud itu ditafsirkan DKI Jakarta lewat penerbitan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021. 

Disebutkan dalam SK tersebut, jika jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar. Artinya, jika persyaratannya lengkap, seorang calon siswa bisa saja tidak diterima pihak sekolah lantaran kurang tua. 

Kebijakan itu diprotes kalangan orangtua siswa selama beberapa hari terakhir. Tak hanya itu, para orangtua juga berencana menggugat SK Disdik DKI Jakarta ke PTUN. 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai gelombang protes terkait persyaratan PPDB muncul di DKI Jakarta akibat salah kaprah dalam penerapan Permendikbud No 44/2019. 

Jika namanya skema zonasi, menurut dia, seharusnya persyaratan usia tidak diikutsertakan. "Kalau dalam zonasi yang diukur adalah jarak, kok yang diukur adalah usia? Itu salah semua, salah kaprah," kata Ubaid saat dihubungi Alinea.id, Minggu (5/7) malam.

Ubaid juga mempersoalkan jatah siswa zonasi DKI Jakarta yang hanya 40%. Menurut dia, kebijakan itu bertentangan dengan aturan Permendikbud yang menetapkan sebanyak 50% siswa yang diterima sekolah harus berbasis sistem zonasi. 

Di sisi lain, lanjut Ubaid, kebijakan zonasi tersebut juga tidak mempertimbangkan jumlah anak dengan ketersediaan sekolah. Akibatnya, banyak anak dari keluarga tidak mampu yang gagal masuk sekolah negeri dan terpaksa menganggur.

"Tidak ada koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Pusat bikin aturan, terus daerah bikin aturan sendiri, terus jalan sendiri-sendiri. Kalau jalan sendiri-sendiri, ya, gini terus. Korbannya siswa. Mereka enggak dapat layanan pendidikan yang bermutu," kata dia. 

Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan