Sejak tahun lalu, kepolisian rajin menjemput paksa aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) yang doyan mengkritik kebijakan pemerintah. Terbaru, polisi sempat menangkap pegiat demokrasi Ravio Patra karena diduga menyebar pesan-pesan provokatif.
Pada 2019, polisi juga pernah menangkap pendiri Watchdoc Dandhy Dwi Laksono, eks vokalis Banda Neira Ananda Badudu, dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert. Ketiganya ditangkap dalam waktu yang berbeda. Yang sama ialah kerap diabaikannya KUHAP oleh polisi dalam proses penjemputan paksa.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan polisi tak bisa sembarangan menangkap seseorang. Menurut dia, ada prinsip legalitas dan yuridikitas yang harus dipatuhi saat polisi menjalankan tugas.
Dari sisi legalitas, misalnya, hanya polisi yang berstatus sebagai penyidik dan penyelidik yang boleh menangkap seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana. Sesuai KUHAP, penyelidik hanya bisa menangkap jika mendapatkan instruksi dari penyiidik.
"Kalau tidak punya dasar kewenangan (SK pengangkatan sebagai penyelidik atau penyidik), maka tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan. Kalau dilakukan tanpa kewenangan, namanya menculik," jelas Fickar kepada Alinea.id, Rabu (29/4).
Dari sisi yuridikitas, Fickar mengatakan, penangkapan juga tidak bisa sewenang-wenang. Personel Polri, misalnya, wajib mengantongi surat penangkapan sebelum menahan seseorang. "Demikian juga bila ingin menggeledah dan menyita barang. Itu harus ada izin dari pengadilan negeri," tutur dia.
Untuk kasus-kasus penangkapan yang mengabaikan aturan, Fickar menyarankan agar para korban mengajukan praperadilan. Tak sekadar menuntut ganti rugi, menurut Fickar, pengajuan praperadilan juga penting untuk mengoreksi Polri dan memberikan efek jera.