close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perguruan tinggi swasta kecil. Alinea.id/Catharina
icon caption
Ilustrasi perguruan tinggi swasta kecil. Alinea.id/Catharina
Infografis
Senin, 19 Desember 2022 16:03

Pro-kontra merger PTS kecil

Kebijakan merger perguruan tinggi swasta kecil yang digenjot Kemendikbudristek menimbulkan beragam persoalan di lapangan.
swipe

Sejak 2015, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mewajibkan perguruan tinggi swasta dengan jumlah mahasiswa kurang dari 1.000 orang untuk merger. Merger diitikadkan untuk menyehatkan kondisi keuangan PTS dan meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di tingkat perguruan tinggi. 

Saat ini, tercatat setidaknya ada lebih dari 4.000 PTS di bawah Kemendikbudristek. Jumlah PTS rencananya bakal dipangkas via merger kampus hingga hanya 2.000. Sepanjang 2020-2022, tercatat sudah ada sekitar 692 kampus yang telah menggelar merger. 

“Karenanya kita dorong PTS yang kecil untuk bergabung agar menjadi besar dan bisa berkembang mutunya dengan baik,” ucap pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbutristek, Nizam kepada Alinea.id, Rabu (14/12). 

Jumlah PTS di Indonesia, kata Nizam, terlampau banyak. Walhasil, banyak PTS kesulitan dalam mendanai aktivitas belajar mengajar serta merekrut mahasiswa. Ia membandingkan jumlah PTS di Indonesia dengan jumlah perguruan tinggi di Tiongkok. 

“Meski jumlah penduduknya lima kali lipat dari Indonesia, di sana (Tiongkok) jumlah perguruan tingginya hanya sekitar 2000-an,” jelas Nizam. 

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko mengatakan program merger yang dirilis Kemendikbud sejak era Menteri Mohamad Nasir menimbulkan banyak persoalan di lapangan. 

Pertama, proses merger yang bisa memakan waktu hingga dua sampai tiga tahun. Pada masa merger, kampus-kampus kebingungan lantaran masih harus membayar gaji dosen dan tenaga kependidikan. 

Kedua, kampus kesulitan merekrut dosen untuk mengajar yang linier dengan mata kuliah hasil merger. Ketiga, kesulitan menyamakan persepsi antara yayasan. Keempat, sulit mencari lahan untuk kampus baru. Kelima, ketidakjelasan tahapan merger. 

Terakhir, persoalan dokumen hukum. Biasanya, nama yayasan yang muncul di akta notaris dan Kemenkumham berbeda dengan nama yayasan pada SK izin. "Penyebabnya kelalaian Kemendikbud  dalam menulis nama yayasan dalam SK... Semua permasalahan atas dasar pengaduan dari berbagai PTS yang merger," kata Budi. 
Infografik Alinea.id/Catharina

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan