Pencopotan spanduk dan baliho bergambar pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab oleh personel TNI di Jakarta menuai polemik. Meski diapresiasi sejumlah kalangan, operasi yang diperintahkan Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrachman itu juga banjir kritik.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch Nurhasim menilai TNI sudah keluar koridor saat ikut turun tangan menghadapi FPI. Sejak era Reformasi, TNI dibatasi perannya di ranah sipil.
TNI, kata Nurhasim, baru bisa masuk ke persoalan sipil bila diminta kepolisian, khususnya dalam menangani situasi keamanan yang berskala besar. Ketentuan tentang pembatasan peran itu tertuang dalam UU Polri dan UU TNI.
"Misalnya berhadapan dengan sipil yang memiliki kemampuan militer. TNI bisa bertindak kalau dia melakukan tugas perbantuan. Itu pun tidak diperkenankan menggunakan alutsista perang seperti tank ataupun panser dan sejenisnya," kata dia kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Nurhasim mengatakan, dukungan publik tidak boleh jadi pembenar bagi militer untuk mengeluarkan diskresi dan ikut campur mengurusi persoalan-persoalan di ranah sipil. Ia pun meminta TNI tidak dijadikan alat penguasa untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis.
"Nanti ada orang demo, dihajar. Nanti ada yang orang yang protes atau ada satu kekuatan yang tidak suka dengan pemerintah, tiba-tiba dia mengambil tindakan diskresi. Menurut saya, itu pelanggaran undang-undang," kata dia.