Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Masyhuri menilai kebijakan yang mengharuskan Bulog menyerap produksi petani domestik di hulu, sementara outlet penyaluran di hilir ditiadakan merupakan kebijakan yang tidak adil. Kebijakan ini potensial merugikan Bulog. Bulog kehilangan outlet pasti hingga 3,4 juta ton beras setahun.
Ketika BPNT diubah menjadi Program Sembako, tahun lalu, outlet penyaluran pasti tidak ada lagi. Sebagai gantinya disediadakan outlet tak pasti bernama program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga atau operasi pasar. Ini membuat stok di Bulog tidak lincah bergerak dan kemampuan menyerap produksi petani menurun.
Masyhuri juga turut menyoroti perubahan status Bulog menjadi perum sejak 2003. Dia menilai, perubahan status ini menyempitkan ruang gerak Bulog. Saat masih berstatus sebagai LPND (Lembaga Pemerintah Non-departemen), kata dia, Bulog bisa membuat policy dan melaksanakannya.
“Sekarang menjalankan fungsi bisnis dan PSO (public service obligation). Jadi, hanya alat atau mendapat tugas dari pemerintah," kata Masyhuri dalam webinar Alinea Forum bertajuk "Reformulasi Kebijakan Perberasan", Senin (22/3).
Alinea.id mengulas beragam kebijakan perberasan yang salah satunya mengatur wewenang Bulog disini.