Bayang-bayang resesi menghantui Indonesia lantaran sekitar 40% dari Rp146,7 triliun dana repatriasi diprediksi bakal hengkang dari Tanah Air tahun ini.
Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, jumlah harta yang dideklarasikan dalam program tax amnesty mencapai Rp4.865,8 triliun, di atas target pemerintah sebesar mencapai Rp4.000 triliun.
Dari total tersebut, sebanyak Rp3.687,0 triliun berasal dari dalam negeri dan Rp1.178,8 triliun dari luar negeri. Namun, jumlah harta luar negeri yang dikembalikan ke Indonesia (repatriasi) hanya mencapai Rp146,7 triliun.
Capaian ini jauh lebih rendah dari target Kemenkeu sebanyak Rp1.000 triliun. Harta repatriasi berada dalam bentuk kas dan setara kas sebesar Rp86,1 triliun, piutang dan persediaan sebesar Rp24,9 triliun, investasi dan surat berharga sebesar Rp 21 triliun, dan bentuk lainnya sebesar Rp14,7 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mendapatkan uang tebusan sejumlah Rp114 triliun, pembayaran tunggakan sejumlah Rp18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun.
Pelaksanaan tax amnesty dibagi menjadi tiga periode, yaitu Juli-September 2016, Oktober-Desember 2016, dan Januari-Maret 2017.
Sementara itu, holding period dana repatriasi dari program tax amnesty akan berakhir seutuhnya tahun ini. Bahkan, secara bertahap masa tahan dana repatriasi periode pertama dan kedua sudah berakhir sejak September dan Desember 2019 lalu. Sedangkan periode ketiga akan menyusul pada Maret 2020.
Dengan begitu artinya, para Wajib Pajak (WP) peserta tax amnesty bakal memiliki haknya kembali untuk memboyong uangnya ke luar negeri. Tidak ada lagi peraturan yang mengikat mereka untuk tetap bertahan di Tanah Air.
Ancaman capital outflow besar-besaran pun mengintai Indonesia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, tak kurang 40% dari total dana repatriasi yang masuk ke Indonesia kemungkinan akan kembali lagi ke luar negeri.
Dalam kata lain, jika melihat total seluruh dana repatariasi yang sekitar Rp146,7 trilun, maka kemungkinan Indonesia bakal mengalami capital outflow setidak-tidaknya Rp58,68 triliun tahun ini.
“Kalau dengan kondisi kayak sekarang sih, kemungkinan besar ancaman dana yang keluar itu cukup besar. Ya sekitar 40%-lah,” terang Bhima saat dihubungi Alinea.id pekan lalu.
Terlebih, tambahnya, saat ini kondisi ekonomi dan politik Indonesia juga masih terbilang lesu. Bahkan, tren pasar keuangan Indonesia sepanjang 2019 juga tidak begitu menggembirakan indikator Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya meningkat tipis dari tahun sebelumnya, yaitu 1,7%.
Hal ini diperparah dengan kinerja obligasi pemerintah yang juga tidak cukup meyakinkan. Berdasarkan data Trading Economics per 27 Januari 2020, nilai imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) seri FR0078 yang menjadi acuan tenor 10 tahun kembali masih di angka 6,67% atau lebih rendah sedikit dibandingkan negara-negara emerging market lainnya seperti India (6,55%), Filipina (4,61%), dan Malaysia (4,17%).
Sejumlah laporan stakeholder terkait yang dirilis tahun lalu pun seakan memperkuat kekhawatiran akan adanya bayang-bayang resesi.
Pada September 2019, Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia sempat menyampaikan bahwa potensi capital outflow Indonesia semakin tinggi di tengah memanasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara meyakini, dana repatriasi yang tersimpan tak akan kabur dari dalam negeri. “Dari laporan yang kita dapat dari manajer investasi yang mengurus dana-dana repatriasi yang terkena (holding period) tiga tahun, menurut pantauan tidak ada eksodus dana yang besar dari dalam negeri,” ujarnya kepada wartawan di kantornya. Simak laporan selengkapnya di sini.