Pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika diwarnai dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut pelapor khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrem dan HAM Olivier de Schutter, proyek pariwisata yang dikelola PT Indonesia Tourism and Development Corporation (ITDC) itu memicu perampasan tanah yang agresif dan intimidasi terhadap masyarakat adat.
"Sumber-sumber terpercaya telah mengungkapkan bahwa warga setempat menjadi subjek intimidasi dan digusur secara paksa dari lahan mereka tanpa kompensasi. Meskipun begitu, PT ITDC tidak berupaya memberikan kompensasi atau menyelesaikan persoalan sengketa lahan," kata Olivier dan para pakar lainnya dalam keterangan tertulis yang dirilis UN Office of The High Commisioner of Human Rights (OHCHR) bertanggal 31 Maret 2021.
Proyek KEK Mandalika digarap PT ITDC di sejumlah desa Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Total nilai proyek sekitar Rp2,2 triliun. Selain hotel dan resort, PT ITDC juga tengah menggarap pembangunan sirkuit MotoGP.
Komisioner KomnasHAM Beka Ulung Hapsara sengketa lahan antara warga dan perusahaan sudah berlangsung sejak dekade 1990-an. Ketika itu, pengelolaan dan pengadaan lahan KEK Mandalika masih berada di tangan PT Pengembangan Pariwisata Lombok atau Lombok Tourism Development Corporation (LTDC).
Hak pengelolaan lahan (HPL) baru berpindah dari PT LTDC ke PT ITDC pada 1998. Setelah proyek KEK Mandalika dikebut, konflik antara warga dan perusahaan kian meruncing. Dalam beberapa tahun terakhir, PT ITDC disebut-sebut mulai "mengusir" warga dari lokasi KEK dengan berbagai cara.
"Ini (sengketa lahan di KEK Mandalika) sudah jadi perhatian dunia internasional. Pelapor khusus PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebut ada ancaman pelanggaran HAM di sana," kata Beka kepada Alinea.id.
KomnasHAM, kata dia, sudah mendapat laporan dari 15 warga di KEK Mandalika yang digusur paksa dan diintimidasi. Para pelapor bersengketa dengan PT ITDC di 17 bidang lahan seluas 211.235 meter persegi.
"Namun, sebenarnya warga yang terdampak itu jumlahnya ratusan. Secara khusus, KomnasHAM meminta untuk tidak ada penggunaan kekuatan yang berlebihan, termasuk tidak melakukan intimidasi. Artinya, bukan hanya penyelesaiannya administrasinya saja atau soal ganti untung atau ganti rugi," kata Beka.