Aktivis Hak Disabilitas Agus Hasan Hidayat mengatakan diskriminasi di dunia kerja sebetulnya merupakan lanjutan dari diskriminasi di tingkat pendidikan. Dengan anggapan yang sudah melekat di masyarakat kalau kaum disabilitas tidak mampu mengikuti kecepatan bergerak hingga berpikir kaum nondisabilitas, lantas membuat kurikulum atau silabus pendidikan bagi anak-anak dengan disabilitas dibedakan. Diajarkan dengan lebih lambat.
“Karena ini, pendidikan anak-anak dengan disabilitas jelas jadi lebih lambat, hingga pada akhirnya mempengaruhi pola berpikir mereka juga,” kata Agus, kepada Alinea.id, Minggu (1/1).
Di dunia kerja, diskriminasi kerap ditemui bahkan saat perekrutan, yakni dengan adanya syarat ‘Sehat Jasmani dan Rohani’. Syarat ini menurutnya sama sekali tidak diperlukan. Pasalnya, sebelum mendaftar kerja, orang dengan disabilitas akan benar-benar memikirkan di bidang apa saja mereka bisa bekerja dan bertahan. Tanpa perlu meminta terlalu banyak pertolongan dari orang-orang nondisabilitas di sekitarnya.
“Teman-teman dengan disabilitas tertentu sudah tahu, mereka tidak akan mendaftar di bidang yang mereka tidak kuasai. Lowongan di Trans Jakarta misalnya, itu teman-teman tuna netra, teman-teman tuli tahu, mereka tidak bisa dan tidak akan mendaftar,” jelas Agus.
Setelah bekerja, risiko diskriminasi pun masih tetap mengintai kaum disabilitas. Selain terlihat dari fasilitas kantor, di mana masih banyak yang belum ramah disabilitas, timbul juga dari sikap orang-orang di perusahaan itu sendiri -dari golongan karyawan hingga petinggi perusahaan- terhadap penyandang disabilitas.
Alinea.id mengulas realita diskriminasi dunia kerja bagi kaum disabilitas dalam artikel ini.