Politikus Partai Bulan Bintang (PBB) Ahmad Yani dan MS Kaban menggagas kelahiran kembali Partai Masyumi atau Masyumi Reborn. Menurut Yani, ia dan Kaban terinspirasi aktivisme politis umat Islam pada Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 saat menggagas Masyumi Reborn.
Berkaca pada kencangnya politik identitas dalam dua kontestasi elektoral itu, Yani mengatakan, publik masih ingin ada parpol berbasis Islam kembali ke kancah politik nasional.
Apalagi, parpol berbasis agama semisal PPP, PKB, PKS, PBB, dan PAN dirasa belum bisa memenuhi ekspektasi publik dan tak lagi murni mengusung Islam sebagai ideologi sebagaimana Masyumi dulu.
"Semangat politik Islam itu yang ingin kita tarik ke Masyumi. Umat itu masih mengganggap kelima partai ini belum bisa menjadi wadah untuk menampung aspirasi mereka. Jadi, kami berusaha mengambil ceruk yang kecewa itu," ucap Yani kepada Alinea.id di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta, Jumat (6/3) lalu.
Yani tak menepis tudingan bahwa Masyumi Reborn turut dibidani barisan sakit hati di PPP dan PBB pada Pilpres 2019. "Gerbong yang bergabung memang mayoritas yang kemarin mendukung Prabowo. Tapi, karena PPP dan PBB mendukung Jokowi-Ma'ruf, makanya mereka menarik diri," ucapnya.
Yani optimistis Masyumi bakal mampu bicara banyak. Apalagi, sejumlah masyarakat di daerah yang menjadi lumbung suara Masyumi pada masa lalu sudah menyatakan dukungan. "Seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, dan Jawa Timur serta beberapa wilayah Sulawesi," imbuhnya.
Guru besar adab dan humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Sukron Kamil menilai peluang Masyumi untuk berjaya kembali di kancah politik nasional sangat kecil. Apalagi, partai-partai bernafaskan Islam mulai kurang diminati pemilih.
"Saya kira berat bagi Masyumi untuk hidup kembali. Partai Islam yang ada sekarang saja kecenderungannya ke tengah dan sudah tidak memperjuangkan syariah Islam. Itu pun mereka masih sulit untuk meraup suara signifikan," ucapnya kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Lebih jauh, Sukron menyarankan agar Masyumi Reborn berkaca kepada pengalaman PBB yang suaranya terus merosot di setiap pemilu. Menurut Sukron, nasib PBB mengindikasikan jika ideologi dan romantisme masa lalu tak lagi laku untuk menggaet pemilih Muslim.