Ajaran Ahmadiyah pertama kali disebarkan Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Ketiganya murid Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Bersama puluhan rekannya, mereka mendirikan Ahmadiyah di Padang pada 1926.
Meskipun usianya lebih tua dari kemerdekaan RI, organisasi itu tak pernah lepas dari persekusi sejak era Orde Baru berakhir. Pada periode 2008-2018 saja, tercatat ada 155 serangan terhadap Ahmadiyah yang terdokumentasi.
Guru Besar Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil menilai persekusi terus terjadi lantaran ketidakdewasaan kelompok mayoritas dalam menyikapi perbedaan akidah. Menurut dia, perbedaan itu harusnya diselesaikan via forum dakwah.
"Paling tidak, umat Islam harus menganggapnya sebagai bagian dari yang harus didakwahi. Bukan untuk dimusuhi. Sebab, bila merujuk pada Islam dan perintah nabi, jangankan Ahmadiyah dan Syiah, non-Muslim saja harus diberi hak untuk tetap tinggal dan hidupnya harus dijamin," ujar dia kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Sukron sepakat hitung-hitungan elektoral kerap mempengaruhi pemerintah dalam menyikapi persekusi terhadap kelompok minoritas. Namun demikian, ia menegaskan, tak sepatutnya pemerintah merampas hak-hak minoritas dan demi menuruti kemauan kelompok mayoritas.
"Itu sama saja tirani demokrasi di mana elite-elitenya bukannya mencerdaskan umat, tapi malah ikut arus yang sebenarnya menjerumuskan umat," cetus Sukron.
Lebih jauh, Sukron meminta agar pemerintah segera memulangkan pengungsi Ahmadiyah. "Sebab, mereka sudah belasan tahun hidup bagaikan dalam kondisi perang. Padahal, negara punya instrumen hukum dan aparat hukum untuk melindungi hak-hak mereka," kata dia.