Minimnya restriksi dari pemerintah dan besarnya dukungan publik bikin serangan siber dari Tiongkok kian menggila. Menurut Joe Robinson dalam "Cyberwarfare statistics: A decade of geopolitical attacks" yang terbit Privacy Affairs, setidaknya ada 79 kasus serangan siber terdokumentasi yang dilancarkan peretas China pada periode 2009 hingga 2019.
Total ada 20 negara yang jadi target. "Sekitar 32% serangan ditujukan ke AS, membuat AS menjadi target terbesar serangan peretas China. Hong Kong juga jadi target utama, termasuk di antaranya peretasan DDoS Telegram saat protes antipemerintah di Hong Kong pada 2019," jelas Robinson.
Dari total 500 kasus serangan siber yang terdokumentasi selama satu dekade terakhir, China bersama Russia merupakan penyumbang terbesar kasus-kasus serangan siber ke seluruh dunia. "Peretasan yang dilakukan China meningkat pada 2018 dan juga menunjukkan peningkatan signifikan pada 2019," ujar Robinson.
Salah satu peristiwa serangan siber terbesar yang dilakukan peretas China terjadi pada 2009-2010. Ketika itu, Google melaporkan pencurian properti intelektual oleh kelompok peretas bernama Elderwood yang berbasis di Beijing.
Selain Google, Yahoo, Symantec, Northrop Grumman, dan Morgan Stanley juga jadi target peretasan kelompok tersebut. Para peretas menggunakan virus Trojan bernama Aurora. Menurut kabel rahasia dari Kedubes AS di Beijing, serangan itu disponsori oleh pemerintah komunis China.
Kasus besar lainnya ialah dugaan pencurian jutaan data pegawai federal AS di pangkalan data Office of Personnel Management pemerintah AS pada 2015. Termutakhir, peretas China juga dituding meretas peladen Microsoft Exchange. Data sekitar 30 ribu organisasi pengguna Microsoft Exchange diperkirakan dicuri kelompok peretas.