Tradisi Imlek disebut sebagai sebuah momen yang menyatukan kerabat dan sanak famili. Ravando Lie, kandidat doktor sejarah di Melbourne University mengatakan, orang Tionghoa yang tidak lagi pergi ke kelenteng, biasanya tetap merayakan Imlek untuk sekedar berkumpul dan makan bersama dengan keluarga mereka.
Tradisi Imlek ini hampir sama dengan tradisi Lebaran di Indonesia, yang mana para perantauan kembali lagi ke kampung halamannya untuk bertemu sanak-famili mereka.
Jika dilihat dari tinjauan sejarah, kata Ravando, tidak ada catatan pasti kapan keturunan etnis Tionghoa mulai merayakan tradisi Imlek di Indonesia. Dia menduga, munculnya tradisi ini di tanah air terjadi di abad 17 dan 18 seiring dengan tumbuhnya pemukiman-pemukiman kecil Tionghoa.
Namun yang pasti, masuknya Imlek dalam kalender nasional sebagai salah satu hari besar yang diperingati oleh etnis Tionghoa di Indonesia, tidak terlepas dari peran Gus Dur. Setelah sempat dilarang untuk diperingati selama kekuasaan Soeharto lewat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Gus Dur mencabut Inpres tersebut, sesaat setelah dia memimpin.
Sejak dicabutnya Inpres tersebut pada tahun 2000, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dapat kembali merayakan tahun baru Imlek.