Indonesia merupakan negara yang kaya nikel. Menurut laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), pada 2022, cadangan nikel yang terkubur di bawah tanah Indonesia mencapai 21 juta metrik ton. Jumlah ini setara dengan 21% dari total cadangan nikel dunia, yang ada di kisaran 100 juta metrik ton.
Sementara itu, pada 2019 lalu Badan Geologi memperkirakan, Indonesia memiliki 72 juta ton nikel, dengan umur cadangan mencapai 27 tahun hingga 2047 jika diolah menggunakan teknologi pemurnian pirometalurgi atau 73 tahun (sampai 2093) apabila diolah menggunakan teknik hidrometalurgi.
Adapun menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), daerah dengan sebaran cadangan bijih nikel (ore) paling banyak berada di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sadar betul dengan potensi sumber daya yang ada, ditambah dengan munculnya tren kendaraan listrik, pemerintah lantas semakin keras menambang nikel. Produksi logam ini, dari yang sebelumnya kebanyakan merupakan produk mentah berupa bijih nikel (ore) ditingkatkan menjadi produk olahan nikel.
Embargo pun dilakukan, menyusul kebijakan hilirisasi komoditas nikel. Upaya ini dilakukan agar logam berwarna putih keperak-perakan dengan sedikit semburat keemasan ini memiliki nilai jual lebih tinggi, ketika dijual dalam bentuk jadi atau setengah jadi, sebagai salah satu bahan baku baterai untuk kendaraan listrik.
“Sejak pemberhentian ekspor bijih nikel, program hilirisasi nikel ini menurut saya sudah berhasil, bahkan bisa dikatakan sangat berhasil,” kata Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, kepada Alinea.id, beberapa lalu.
Namun, hilirisasi nikel juga mempunyai sisi gelap yakni pertambangan yang menimbulkan bencana dan konflik agraria dengan masyarakat. Alinea.id mengulas permasalahan hilirasi nikel dalam artikel ini.