Sistem beli sekarang, bayar nanti sebetulnya bukan hal baru dalam transaksi perdagangan di Indonesia. Sejak dulu, masyarakat pun sudah banyak melakukannya di toko-toko kelontong sekitar tempat tinggal atau warung langganan. Mereka menyebutnya dengan bon atau 'ngebon', istilah lain untuk utang.
Kini, ketika perdagangan pindah ke jagat maya, istilah kasbon mewujud lebih modern dalam bentuk paylater. Bahkan, selama pagebluk sistem pembayaran ini mengalami pertumbuhan signifikan, seiring dengan tingginya transaksi e-commerce di Indonesia.
Berdasarkan catatan lembaga survei Statista, pada 2021 total pendapatan e-commerce Indonesia mencapai US$38,19 miliar atau sekitar Rp569 triliun (kurs Rp14.900 per dolar AS). Naik dari tahun sebelumnya yang sebesar US$30,31 miliar dan pada 2019 yang hanya senilai US$20,34 miliar. Transaksi ini menjadi yang tertinggi di antara lima negara tiger cub atau negara dengan perekonomian dominan di Asia Tenggara.
Hal ini pun sejalan dengan hasil riset Kredivo dan Katadata Insight Center yang menunjukkan bahwa konsumen belanja daring pada platform niaga-el di kota-kota besar (tier 1), seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Bandung di sepanjang tahun lalu mencapai 56%. Sedangkan di kota tier 2, seperti Semarang, Depok, Malang, Surabaya, dan lainnya ada sebanyak 35%. Angka itu meningkat dibandingkan jumlah konsumen di kota tier 2 pada tahun 2020, yang hanya sebanyak 32%.
“Sementara nilai transaksinya meningkat dari 28% di 2020 menjadi 30% di 2021,” papar VP Marketing & Communication Kredivo Indiana Andamari, dalam keterangannya kepada Alinea.id, belum lama ini.
Alinea.id mengulas untung rugi penggunaan fitur beli sekarang bayar nanti dalam artikel ini.