Koleksi fesyen selalu berganti setiap musim. Semula, hanya dua musim dalam setahun namun kini berkembang hingga 52 micro season dalam setahun. Artinya, akan ada model pakaian baru setiap minggu.
Sementara di industri mode, khususnya produsen fast fashion, biasanya hanya memusatkan perhatian pada produksi masal tanpa mementingkan etika hak cipta desainer. Selain itu, banyak pula pekerja dari industri fast fashion yang dibayar dengan upah sangat murah, tanpa diperhatikan kualitas hidup dan kesehatannya.
Akibatnya tidak hanya menghasilkan produk dengan kualitas rendah, fast fashion juga rentan terhadap plagiarisme.
Di sisi lain, pelaku usaha mode sering kali tidak memperhatikan aspek lingkungan dalam perencanaan bisnisnya. Bahkan, satu dekade terakhir, sampah fesyen muncul sebagai momok baru bagi upaya perlindungan lingkungan. Fesyen menjadi penyumbang polusi terbesar kedua di dunia.
“Sampah fashion meliputi produk pakaian yang ketika sudah tidak terpakai menjadi sampah yang tidak mudah terurai oleh alam,” jelas Pengamat Ekonomi Politik Pembangunan dan Isu Lingkungan Asmarawati Handoyo, kepada Alinea.id, Senin (14/6).
Belakangan, bisnis sewa baju pun muncul untuk menjawab keresahan atas menumpuknya sampah fesyen. Alinea.id mengulas potensi bisnis tersebut disini.