Adat, negara, dan intoleransi
Akhir tahun yang buruk di Dharmasraya. Sebuah kabupaten yang terletak persis di tengah Pulau Sumatera ini dihantam isu yang membuat banyak orang (terutama di kota-kota besar) marah: intoleransi! Dan, isu itu bergulir bagai bola salju di media sosial, dan media-media di Jakarta memberitakannya dengan penuh semangat.
Kabupaten Dharmasraya, daerah yang dilewati Sungai Batanghari di mana di pinggirnya ditemukan arca Amoghapasa (simbolisasi dari masyarakat yang welas asih) satu abad lampau, wilayah yang selama ini tenang dan diam di Lintasan Sumatera, kini jadi bulan-bulanan isu intoleransi beragama sampai membuatnya menjadi trending topic di jagad Twitter.
Benarkah intoleransi tersebut terjadi?
Baiklah, kita runut kronologinya satu persatu. Isu intoleransi ini muncul karena adanya surat dari Wali Nagari Sikabau yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Dharmasraya, menyatakan ketidaksetujuan Pemerintah Nagari beserta masyarakat akan permintaan penganut agama Katholik di wilayah tersebut, untuk mengadakan perayaan Natal di wilayah tempat tinggal mereka dengan mengundang umat Nasrani dari luar wilayah Sikabau.
Pemerintah Nagari menyarankan untuk merayakan Natal di tempat lain yang memang disediakan untuk melakukan peribadatan dan perayaan, yaitu Gereja. Masyarakat Sikabau dan pemerintah, dalam hal ini Bupati Dharmasraya, kemudian menjadi bulan-bulanan di media sosial, karena dinilai lalai dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan kebebasan kepada warganya dalam menjalankan kehidupan beragama.
Namun, berita ini ternyata baru berupa ujungnya saja. Pangkal asal mula kejadian tersebut ternyata lebih kompleks dan tidak sesederhana kata “toleransi” itu diucapkan.
Dharmasraya, setidaknya, bukan wilayah yang homogen. Ia telah menjadi tempat bernaungnya para transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa dan difasilitasi pemerintah Orde Baru (saat itu Dharmasraya belum mekar menjadi sebuah kabupaten dan masih berada di wilayah Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat) yang dibekali rumah, ternak, dan bahan pangan.
Namun sebelumnya, Dharmasraya telah menjadi wilayah penempatan transmigran pada 1965/66, sebuah masa prahara di Indonesia yang tidak perlu dijelaskan di tulisan ini. Program transmigrasi di 1965/66, ‘masa prahara’ tersebut tanpa fasilitas apapun dari pemerintah walau telah dijanjikan, dan mereka hidup terlunta-lunta.
Masyarakat setempat membuatkan mereka bedeng, memberi makanan, dan memberikan tanah dan lahan untuk digarap. Tanah, bagi masyarakat Minangkabau, sebagaimana yang Anda ketahui, adalah harta pusaka yang diwariskan secara turun-temurun dari garis matrilineal yang dikelola dengan cara yang rumit dan alangkah rumit lagi bila menjualnya.
Sesuai kebiasaan masyarakat Minangkabau sejak masa kolonial, pemberian hibah dan jual beli, mestilah ada bukti tertulis dan mesti diketahui para ninik-mamak. Dan, traktat hibah itu berbunyi: Satu, transmigran tidak diperkenankan membawa agama selain Islam (dan mujurnya, semua transmigran yang datang ke wilayah itu adalah penganut Islam—jadi tidak ada persoalan). Dua, tanah yang sudah diberikan tidak boleh dijual kepada pihak lain, dan bila seandainya ingin dijual juga, jual lah kembali pada kaum yang memberi tanah semula, karena tanah tersebut adalah tanah ulayat, milik bersama. Tiga, mengikuti aturan adat yang berlaku di wilayah tersebut.
Namun, setelah sekian waktu, ternyata beberapa keluarga dari kelompok transmigran tersebut memutuskan kembali ke Jawa. Lalu bagaimana dengan tanah yang mereka dapatkan secara cuma-cuma tersebut? Mereka menjualnya. Termasuk kepada orang yang beragama tidak Islam. Dalam hal ini perjanjian telah dilanggar. Merasa kasihan pada pembeli yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk membeli tanah transmigran tersebut, maka traktat adat itu dirubah dan masyarakat mengakui juga akad jual beli tersebut dengan sukarela, dengan syarat bahwa perjanjian itu kemudian diperbarui.
Tambahan dalam perjanjian tersebut adalah bahwa: Satu, jika ingin melakukan kegiatan keagamaan, silakan lakukan di dalam kediaman masing-masing. Dua, tidak boleh membangun rumah ibadah mereka di tanah ulayat masyarakat setempat tersebut. Tiga, untuk menghormati masyarakat sekitar yang merupakan penganut muslim, tidak boleh memanggang babi di luar rumah, tetapi masaklah di dalam kediaman masing-masing. Kesepakatan ini masih berlaku hingga hari ini, dan masih dihormati kedua belah pihak. Saat ini, di Nagari Sikabau terdapat 11 Kepala Keluarga umat Katholik, yang berjumlah sebanyak 41 orang. Sedangkan di Jorong Kampung Baru tempat isu ini bermula, terdapat 6 Kepala Keluarga.
Lalu, beberapa tahun belakangan, sejak 2017 umat Katolik di salah satu jorong di Nagari Sikabau, yaitu Jorong Kampung Baru melayangkan surat ke Wali Nagari Sikabau, memohon izin untuk mengadakan kegiatan perayaan Natal bersama-sama di wilayah mereka.
Wali Nagari menolak memberikan izin, karena menghormati perjanjian yang telah disepakati tersebut. Pemerintah memberikan solusi untuk merayakan Natal di tempat yang semestinya, yaitu rumah ibadah, dengan fasilitas transportasi yang disediakan oleh pemerintah kabupaten. Jika diberikan izin, dan perayaan tetap dilakukan di wilayah tersebut, konflik horizontal besar kemungkinan akan terjadi, mengingat perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut.
Sejak 2017, ketika surat tersebut dilayangkan, baru di tahun ketiga ini, 2019, pemberitaan ini muncul ke permukaan, sehingga menjadi viral di media sosial. Isu ini menjadi perhatian banyak orang bahkan media-media besar sekelas The Jakarta Post, Tirto, Mojok, BBC, Tempo, CNN ikut memberitakan permasalahan ini. The Jakarta Post sempat memuat sebuah artikel berjudul Unmerry Christmas menyikapi permasalahan di Dharmasraya ini.
Simpati kepada umat Katholik Sikabau dan hujatan kepada masyarakat setempat dan pemerintahpun berdatangan. Pemerintah kabupaten kemudian membuka ruang diskusi dan memfasilitasi pertemuan mencari jalan terang penyelesaian masalah ini. Pertemuan dihadiri oleh Bupati Dharmasraya, Kapolda Sumatera Barat, Anggota DPRD Kabupaten Dharmasraya, Pemerintahan Nagari Sikabau, Tokoh Katholik Nagari Sikabau dan Jorong Kampung Baru, serta masyarakat.
Dalam pertemuan itu, Umat Katholik dan tokoh masyarakat mengaku heran dengan pemberitaan yang ada. Hal ini disebabkan karena mereka merasa tidak pernah ada masalah. Mereka hidup dengan damai dan rukun. Kedua pihak hingga saat ini masih menghormati kesepakatan yang telah ada tersebut.
Kok Bisa? Kata mereka, mereka bahkan tidak mengenal Sudarto, tokoh yang begitu getol mencuatkan pemberitaan ini sejak pertama kalinya. Sudarto, pahlawan berkuda putih yang berada di bawah payung Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Pusaka Foundation. Hingga 25 Desember 2019, sesuai pengakuan warga Katholik di Nagari Sikabau, khususnya Jorong Kampung Baru, tetap merayakan natal mereka di kediaman masing-masing.
Teman-teman saya yang beragama Katholik menyayangkan kejadian ini. Banyak pihak marah, saya pun begitu awalnya. Ada yang mempertanyakan perjanjian itu, ada yang menghujat: tanah diberikan, ya, suka-suka penerima dong. Melihat persoalan dari akarnya, melihat perjanjian adat (Minangkabau pasca Padri), tentu tidak sesederhana melihat ikan dalam kuali.
Lantas, intoleransi (betapa tajam kata itu) seperti apa yang hendak dipermasalahkan? Tiba-tiba pers rilis tiba-tiba muncul: Umat Katholik di Jorong Kampung baru telah diizinkan melaksanakan perayaan ibadah Natal dan Tahun Baru 2020. Bukankah selama ini begitu adanya? Selamat Natal 2019 umat Nasrani di seluruh Indonesia.
Catatan: Nagari adalah wilayah setingkat desa yang terdiri dari beberapa jorong.