Agenda apa di balik pelemahan KPK?
Masih belum hilang dari ingatan bagaimana Jokowi sangat berapi-api mengemukakan visi dan misinya, tentang penegakan hukum korupsi dalam debat capres dan cawapres 2019, pada beberapa waktu lalu.
Pada saat itu, Jokowi seakan memahami kehendak dan kemauan masyarakat terkait penegakan hukum korupsi, sehingga dengan tegas Jokowi menyebutkan, akan “memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)” sebagai satu-satunya lembaga yang terdepan dalam penegakan hukum korupsi.
Namun visi dan misi yang dinyatakan secara tegas oleh Jokowi, yang saat ini dalam posisi menunggu pelantikan sebagai presiden periode kedua, sedang mendapatkan ujian yang cukup berat, khususnya berkaitan dengan isu pelemahan KPK.
Setidaknya terdapat dua peristiwa yang berkaitan dengan isu pelemahan KPK. Isu pertama, berkaitan dengan seleksi calon pimpinan KPK, dan isu kedua terkait revisi UU KPK yang sedang digodok di DPR.
Anehnya, Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang berkepentingan langsung dengan penegakan hukum korupsi, belum memberikan tanggapan atau respons terhadap kedua permasalahan yang sedang diprotes masyarakat.
Masyarakat menduga ada upaya pelemahan KPK melalui seleksi calon pimpinan KPK, sehingga melayangkan protes terhadap Presiden Jokowi agar tidak meloloskan calon pimpinan KPK yang telah diserahkan kepada presiden. Salah satu pihak yang secara tegas menolak hasil seleksi capim KPK, berasal dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.
Oleh karena itu, Jokowi diminta memperhatikan rekam jejak capim KPK dengan baik. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Jokowi berani menolak nama-nama capim yang diserahkan pansel jika tidak mempunyai integritas dan bila perlu Jokowi mengevaluasi kembali kinerja pansel KPK.
Protes ini dilakukan agar KPK diisi sejumlah orang yang memiliki kapasitas dan mempunyai integritas, sehingga KPK tidak menjadi lembaga lemah dalam penegakan hukum korupsi.
Isu pelemahan KPK yang kedua berkaitan dengan revisi UU KPK. Publik sungguh terkejut soal usulan revisi UU KPK, sebab revisi UU KPK tidak masuk dalam daftar inventarisasi RUU dan nonRUU periode 2014-2019.
Hal yang mengejutkan lagi terjadi pada masa sidang pertama pada 16 Agustus 2019. Badan Legislasi DPR tiba-tiba mengajukan usulan revisi UU KPK. Kemudian secara diam-diam, rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Selanjutnya Rapat Paripurna DPR (5/9) dengan suara bulat menyepakati mengajukan revisi UU KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR.
Alih-alih menguatkan lembaga KPK sebagaimana pernyataan tegas Jokowi saat penyampaian visi-misi sebagai calon presiden. Revisi UU KPK ini sangat tendensius bahkan terkesan sengaja didesain menghabiskan posisi lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa poin pelemahan itu tanpak jelas dalam kententuan revisi UU KPK seperti; Pasal 1 angka 7: Pegawai KPK adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dan peraturan perundang-undangan dibidang aparatur sipil negara.
Sedangkan saat ini hampir 80-90% pegawai di KPK adalah nonPNS, maka dengan berlakunya UU KPK yang baru otomatis, hampir 1.500 pegawai KPK yang bertugas di seluruh wilayah Indonesia, di berbagai kementerian harus berhenti bekerja karena surat perintah tugas yang mereka kantongi batal demi hukum, seluruh pegawai KPK akan kehilangan status pegawainya, dan setiap tindakan mereka. dianggap batal demi hukum setelah berlakunya UU KPK yang baru ini.
Ketentuan lain yang dianggap melemahkan posisi KPK adalah soal penyadapan yang perlu dan wajib atas izin dewan pengawas. Sedangkan hal yang sangat fatal dan diidentifikasi sebagai upaya penyusupan untuk membebaskan beberapa tahanan korupsi yang saat ini sedang dalam proses penyidikan dan penuntutan adalah pencantuman ketentuan Pasal 43 (1) Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Pasal 43 A: (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 45 (1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Jika pasal di atas diberlakukan maka, direktorat penyelidikan dan penyedikan akan berhenti bekerja secara total, sebab lebih dari setengah penyidik di KPK, berstatus sebagai penyidik KPK yang bukan berasal dari kepolisian atau kejaksaan. Secara serentak 20 satgas penyidikan di KPK berpotensi stagnan seketika, karena sprindik, BAP, BA penahanan, BA sita, dan seluruh administrasi penyidikan akan batal demi hukum karena dilaksanakan kasatgas dan penyidik yang tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik KPK.
Demikian juga dengan kinerja direktorat penuntutan, semua berhenti total akibat dibelakukannya ketentuan Pasal 70C yang menyebutkan, pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Oleh karena ini patut untuk dipertanyakan siapa sebenarnya Presiden Jokowi ini? Apakah dia memiliki agenda tersembunyi dalam skema revisi UU KPK ini, sebab begitu besarnya suara publik yang menuntut agar sang presiden bersikap tegas atas kebijakan pelemahan lembaga KPK melalui dua skema yaitu, skema capim KPK dan skema revisi UU KPK.
Ada dua hal yang patut diduga, apakah dengan skama pelemahan KPK ini presiden ingin menyelamatkan beberapa kolega yang sedang ditahan dan dalam proses penyidikan maupun penuntutan?
Ataukah presiden ingin bekerja tanpa hambatan, tanpa diawasi KPK ke depan, terutama terkait dengan kebijakan pemindahan ibu kota yang saat ini sedang dicari-cari landasan pembenarannya secara hukum.
Masyarakat sadar kebijakan pemindahan ibu kota tersebut, belum ada selembar kertaspun yang mengatur sebelumnya dalam bentuk perencanaan.
Hal yang sangat mengejutkan terkait dengan besarnya anggaran yang digunakan untuk membangun ibu kota baru tersebut, dana Rp400 triliun lebih yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota tersebut tentu sangat rawan akan praktik korupsi dan kolusi.
Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan pemindahan ibu kota saat ini tentu sangat sarat dan rawan akan tindakan penyalahgunaan wewenang, demikian juga rawan akan tindakan korupsi dan kolusi, sehingga presiden ingin terhindar dari segala aturan hukum yang menghalangi dan mengganggu keinginan dan semangat sang presiden untuk memindahkan ibu kota.