Amanat Badan Pangan Nasional
Polemik kebijakan impor pangan seperti beras, gula dan daging terus berulang setiap tahun. Seolah tradisi, jika terjadi keriuhan pro-kontra kebijakan, maka presiden akan turun tangan. Seperti polemik impor beras satu juta ton yang lalu, memaksa Presiden Jokowi turun tangan (26/3) dan menjanjikan sampai dengan Juni tahun ini tidak ada beras impor masuk ke dalam negeri.
Pernyataan Presiden untuk menunda impor di saat panen raya tengah berlangsung diperkirakan dapat mengembalikan harga pembelian gabah petani Kembali normal pada panen raya tahun ini.
Namun, kita tidak dapat melanjutkan tradisi berputar-putar di ketiak ular terkait problem pangan nasional. Sejumlah langkah terkait pangan penting segera dilakukan agar tiada kejadian sama yang berulang. Persoalan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia harus diselesaikan dalam kerangka kebijakan yang terintegrasi.
Badan Pangan
Menurut UU No.18/2012 tentang Pangan, pemerintah diamanatkan membentuk Badan Pangan Nasional. Langkah ini nampaknya selalu mendapat tentangan. Khawatir tumpang tindih kelembagaan yang semakin kompleks. Namun, pembentukan badan yang maju mundur nampaknya karena lobi-lobi aktor besar importir pangan yang selama ini telah mencengkeram kuat kebijakan pangan nasional.
Setelah delapan tahun UU Pangan diberlakukan dan mengingat pangan dalah komoditas strategis yang terkait langsung dengan situasi sosial, ekonomi dan politik, penting bagi pemerintah untuk mendorong hadirnya Badan Pangan Nasional. Pilihan jangka pendeknya, jika tidak membuat lembaga baru adalah memperkuat posisi Bulog yang juga berperan sebagai Badan Pangan. Sehingga, nomenklatur Bulog yang selama ini berstatus sebagai Perum dapat direvisi.
Harapannya, kehadiran Badan Pangan Nasional akan menghentikan kekacauan data pangan yang menjadi biang keriuhan selama ini. Pentingnya data tunggal pangan yang terintegrasi dan diolah dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, pemerintah daerah, Bulog akan memperjelas sisi produksi, kebutuhan konsumsi dan industri serta cadangan pangan.
Terkait dengan data tunggal ini, penting digarisbawahi adalah jenis data terintegrasi yang akurat sehingga dapat menjadi basis pengambilan kebijakan. Karena itu, data tersebut harus terbuka dan diawasi publik dan lembaga, seperti Ombudsman dan Komisi Informasi Publik. Data yang terbuka dan akurat selain menjadi pijakan bagi pengambilan kebijakan juga akan menghasilkan kepercayaan publik yang tinggi.
Koperasi pangan
Selama ini argumentasi impor ditopang oleh kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga dan industri yang meningkat pesat. Sayangnya, pertumbuhan permintaan tersebut tidak sebanding dengan kemampuan petani dan sektor pertanian kita dalam memenuhi permintaan pasar dalam negeri yang besar. Daya saing produk pertanian dalam negeri juga menjadi isu tersendiri khususnya dari sisi harga dan kualitas yang akhirnya memaksa jalan impor.
Dengan kondisi demikian, publik seolah dipaksa menerima sebagai hal yang wajar jika impor pangan setiap tahun seolah tidak terbendung. Selain beras, tahun ini pemerintah telah merencanakan impor pangan seperti gula mentah dan rafinasi (1,9 juta ton), gula kristal putih (323,4 ribu ton), garam (3,07 juta ton), daging sapi/kerbau (223.1 ribu ton), serta gandum (2 juta ton). Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan industri.
Kenyataan bahwa petani, nelayan tradisional dan pertanian kita yang berisi generasi yang menua, rumah tangga dengan tanah gurem dan tertinggal secara teknologi telah lama disadari. Sehingga, hampir seluruh naskah kebijakan pembangunan pemerintah terkait pembangunan pertanian, pesisir kelautan dan pedesaan kita selalu bersandarkan pada fakta-fakta semacam ini. Sayangnya ketika berada pada sisi praktik kebijakan, kesadaran tersebut kerap tidak berkorelasi bahkan bertolak belakang.
Karena itu, pembentukan Badan Pangan Nasional juga diperlukan untuk menjaga konsistensi pemerintah dalam menjalankan modernisasi pertanian nasional berbasis petani, peternak, nelayan tradisional dan masyarakat pedesaan.
Modernisasi pertanian dan petani kita haruslah bersandarkan kepada koperasi pangan modern. Sejumlah usaha afirmatif dan koordinatif untuk menggeser wajah rumah tangga petani kita ke dalam wadah koperasi modern perlu ditata ulang. Sejumlah langkah dapat dilakukan seperti: mendorong petani-petani dalam sebuah hamparan bergabung ke dalam sebuah koperasi karena adanya jaminan pasar, pendampingan, dukungan teknologi, dan sejumlah subsidi produksi hingga kebebasan pajak. Selanjutnya gabungan dari koperasi-koperasi pangan ini juga secara spasial mendapat kemudahan lainnya layaknya Kawasan Ekonomi Khusus.
Karena itu, modernisasi pertanian dan petani berbasis koperasi pangan membutuhkan langkah strategis untuk memperbaiki tata produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional secara menyeluruh. Menghubungkannya dalam relasi pertanian, industri dan jasa yang saling menguntungkan. Dengan demikian, kawasan penghasil pangan kita harus diatur dalam kerangka pembangunan modern. Di sanalah sebenarnya cita-cita reforma agraria nasional selama ini.