close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Khudori
icon caption
Khudori
Kolom
Senin, 10 Mei 2021 18:09

Ancaman krisis sapi pedaging

Jika tidak ada perubahan strategi dan perbaikan kebijakan, bukan mustahil bakal terjadi krisis sapi pedaging pada 2022-2023.
swipe

Masalah kembali berulang: harga daging sapi melonjak tinggi. Jika di awal 2021 sempat diwarnai pedagang mogok jualan, kali ini mereka tetap berjualan dengan menggerutu. Pasalnya, momentum Ramadan yang mestinya “panen rezeki” justru tidak terjadi. Konsumen menahan membeli daging sapi karena harga terus meroket. Lebih-lebih saat menuju Idulfitri. Ini terjadi karena pasokan sapi pedaging yang berasal dari impor, terutama dalam bentuk sapi bakalan, tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.

Selama ini daging sapi, baik daging beku maupun sapi bakalan, mayoritas dipasok dari Australia. Letak geografis yang dekat dengan Indonesia membuat harga daging dari Australia lebih kompetitif ketimbang dari negara lain. Masalahnya, dua tahun terakhir Australia dilanda bencana: banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan pada 2020. Ini membuat kinerja industri peternakan Australia merosot drastis. Populasi sapi menurun signifikan: dari sebesar 27,8 juta ekor pada 2002 tinggal 21,1 juta ekor (menurun 24,1%).

Sejak 2020 Australia mengurangi ekspor sapi. Negara itu perlu memulihkan populasi sapinya ke level ideal. Mengikuti hukum pasokan-permintaan, saat pasokan terbatas dengan permintaan tetap, harga sapi naik drastis. Sejak impor sapi dari Australia di awal 1990-an, baru kali ini harga sapi impor menyentuh Rp56 ribuan/kg berat hidup (landed cost), lebih mahal dari harga sapi lokal (Rp47 ribuan/kg berat hidup). Pebisnis penggemukan sapi (feedloter) tak mungkin berharap dapat sapi bakalan dari Australia.

Ada gagasan mendiversifikasi pasokan sapi impor. Menteri Negara BUMN Erick Thohir melirik Belgia. Bahkan, Erick melontarkan ide membeli peternakan sapi di negara itu. Masalahnya, lokasi yang jauh membuat ongkos angkut mahal. Selain itu, populasi ternak keluarga sapi/lembu di Belgia pun terbatas. Produksi ternak jenis bovine (keluarga sapi/lembu) di Belgia pada 2019 hanya 2,37 juta ekor (posisi 10 dunia). Produksi jenis cattle (lembu) pada 2019, menurut USDA, pun terbatas. Belgia bukan eksportir penting.

Mau tidak mau, pengusaha feedloter kemungkinan besar akan menggantungkan pada sapi bakalan lokal. Karena permintaan jauh lebih besar dari pasokan sapi bakalan, ini dikhawatirkan bakal menguras sumber daya sapi lokal seperti 2012-2013. Yakin populasi sapi siap potong cukup, yakni 14,8 juta ekor pada 2011, secara bertahap kuota impor daging dipangkas: 35% dari kebutuhan pada 2011 menjadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% pada 2013. Rupanya, populasi sapi siap potong tidak seperti yang diyakini.

Apa yang terjadi kemudian? Pertama, terjadi pengurasan populasi sapi. Sensus Pertanian 2013 oleh BPS menyimpulkan, populasi sapi turun 19% dari data yang dirilis pada 2011. Pemangkasan impor membuat banyak sapi dipotong, bahkan betina produktif yang dilarang UU juga dipotong karena ada insentif harga yang tinggi. Rata-rata betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan mencapai 31,08% atau 1 juta ekor per tahun (Tawaf, 2013). Kedua, pengurasan populasi sapi perah. Ketiga, bukan hanya harga daging, impor (daging dan sapi bakalan) juga kian tak terkendali. Sampai saat ini.

Padahal, dalam dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kurang anggaran Rp18 triliun digelontorkan untuk program swasembada daging sapi. Program ini berlanjut di era Presiden Jokowi. Ada program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Siwab) dan Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan). Namun, dua program ini masih jauh dari kata berhasil. Indikatornya, pertumbuhan pasokan sapi pedaging jauh lebih kecil dari permintaan.

Akibatnya, sampai saat ini Indonesia belum mampu memperbaiki ketergantungan yang tinggi terhadap impor daging sapi. Periode kritis diperkirakan terjadi dua-tiga tahun mendatang. Jika tidak ada perubahan strategi dan perbaikan kebijakan, bukan mustahil bakal terjadi krisis sapi pedaging pada 2022-2023. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga bakal kembali terjadi pemotongan sapi perah besar-besaran karena insentif ekonomi harga daging sapi yang lebih menarik ketimbang dipelihara untuk menghasilkan susu.

Jika itu terjadi, Indonesia yang mati-matian menambah jumlah populasi sapi akan kembali berhadapan dengan persoalan lama: depopulasi sapi pedaging. Jika itu yang terjadi, hal ini akan semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi yang sudah diprogramkan sejak puluhan tahun lalu. Dalam jangka pendek, tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah krisis sapi pedaging. Salah satu yang harus dijajaki adalah diversifikasi pasokan sapi pedaging selain dari Australia. Meski kecil peluangnya, harus dicoba dengan konsekuensi harga yang amat mungkin lebih mahal.

Dalam jangka menengah-panjang, tidak ada cara lain, perlu putar haluan dengan cara mengubah kebijakan agar capaian swasembada kian mendekat, bukan malah menjauh seperti saat ini. Pertama, harus ada keseriusan mengembangkan breed lokal. Ini tidak mudah karena kemurnian breed lokal kemungkinan sudah tercemar. Salah satu breed lokal unggul adalah sapi Bali. Sapi Bali cepat berkembang, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan, kemampuan beradaptasi di lingkungan baru, dan beranak setahun sekali. Sepertinya mustahil mencapai swasembada tanpa memiliki breed (lokal) sendiri.

Usaha pembibitan dan pembesaran (cattle breeding farm) berbeda dengan sistem penggemukan sapi (cattle feedlot). Pembibitan merupakan bisnis jangka panjang yang perlu modal besar. Usaha pembibitan perlu waktu sekitar tiga tahun untuk menghasilkan sapi bakalan. Karena investasi jangka panjang, belum ada pengusaha yang menekuni usaha ini. Sebagian besar mereka masih bergerak di usaha penggemukan yang cepat menghasilkan (quick yielding). Di UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pembibitan itu jadi tugas pemerintah, khsususnya harus ditangani oleh BUMN.

Kedua, mengintegrasikan sawit-sapi. Luas kebun sawit Indonesia mencapai 16 juta hektare. Dengan rasio tiap hektare kebun sawit bisa memuat dua ekor sapi, potensi breeding farm mencapai 16 juta induk sapi betina dengan potensi 16 juta pedet atau anakan sapi. Katakanlah separuh potensi dimanfaatkan: ada potensi 8 juta pedet. Apabila potensi ini dimanfaatkan, Indonesia bukan hanya berswasembada sapi potong melainkan juga bisa surplus. Tetapi, karena bersifat jangka panjang, langkah ini perlu konsistensi dan kredibilitas kebijakan, dengan disiplin jadwal ketat. Berbeda dengan beli peternakan.

img
Khudori
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan