Angka bercerita, pemilu yang berwarna
Tahapan Pemilihan Umum 2019 belum benar-benar tuntas. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memang sudah ditetapkan oleh KPU sebagai presiden-wakil presiden terpilih. Akan tetapi ribuan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD masih harus menunggu kepastian nasibnya diputus oleh Mahkamah Konstitusi –terkhusus calon yang menjadi pihak dalam sidang perselisihan hasil pemilu. Rencananya, 9 Agustus nanti akan menjadi batas akhir sidang pengucapan putusan.
Layaknya sebuah panggung kompetisi, pemilu kerap disimplikasi dengan pertarungan mengenai siapa yang bisa mendapatkan suara rakyat lebih banyak ketimbang kandidat lain. Pemilu adalah soal angka, angka, dan angka. Terkadang angka-angka hadir begitu beku, begitu saja tersaji tanpa cerita yang menyertai. Padahal, mengutip penulis terkemuka Mark Twain dalam Chapters from My Autobiography (1906), “Figures often beguile me, particularly when I have the arranging of them myself…”.
Deretan angka bisa dilihat dalam konteks yang lebih luas. Setiap angka pastilah mengandung ceritanya sendiri dan karenanya bisa memunculkan pemahaman yang lebih berwarna terkait sebuah peristiwa. Tren atau kecenderungan pastilah menarik untuk ditelisik. Yang besar pun tidak selamanya memperlihatkan keagungan. Sebaliknya, yang kecil pun tidak berarti nihil makna.
Pun demikian dalam konteks Pemilu 2019.
Angka yang umum dimunculkan terkait Pemilu 2019 bahwa lebih dari 190 juta rakyat pemilih di seluruh Indonesia maupun yang berada di luar negeri yang sudah terdaftar bisa menggunakan hak pilihnya pada 17 April. Angka lainnnya, KPU menyediakan 939.879.651 surat suara yang didistribusikan ke 809.497 TPS yang berada di 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.201 kecamatan, dan 83.404 desa/kelurahan. Angka tersebut untuk menekankan bagaimana kompleksnya Pemilu 2019, yang merupakan pemilu terbesar di dunia yang dilakukan serentak pada hari yang sama.
Dalam Pemilu Legislatif lalu, tercatat ada 16 partai politik nasional yang mengikuti Pemilu Anggota DPR, termasuk di antaranya adalah empat parpol yang baru ikut berlaga dalam pemilu. Selain dua pasangan calon presiden-wakil presiden, terdapat 7.968 calon anggota DPR dan juga puluhan ribu calon anggota DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
Terlepas dari sajian angka yang (bisa jadi) terkesan datar-datar saja, banyak cerita yang bisa dikulik lebih dalam. Misalnya saja perihal verifikasi parpol calon peserta pemilu. Yang bakal mudah diingat: tidak semua parpol nasional tersebut lolos dengan mulus lewat keputusan KPU. Misalnya saja, dua parpol yang pada Pemilu 2014 lolos sebagai peserta pemilu melalui jalur sengketa, yakni Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, kembali bisa menjadi peserta Pemilu 2019 setelah melalui jalur sengketa. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan saat tahapan verifikasi faktual sedang berjalan juga mewarnai dinamika proses penetapan parpol peserta Pemilu 2019.
Angka Parliamentary Threshold (PT) merupakan momok bagi parpol peserta pemilu. Angka tersebut merupakan persentase minimal perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR yang menjadi batas bisa-tidaknya sebuah parpol mengirimkan wakilnya ke DPR. Jadi, seberapapun besarnya parpol meraih suara di sebuah daerah pemilihan; parpol bersangkutan tidak akan bisa mendapatkan kursi di DPR jika total perolehan suaranya secara nasional tidak mencapai PT.
Pada Pemilu 2019, angka PT adalah 4 persen dari total suara sah nasional Pemilu Anggota DPR. Angka tersebut meningkat dari Pemilu 2014; di mana saat itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menetapkan bahwa ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen. Pada Pemilu lima tahun sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Lantas, kenapa angka PT dinaikkan dari pemilu ke pemilu?
Jawaban normatifnya: kenaikan PT akan sejalan dengan niatan untuk menciptakan sistem multipartai sederhana. Berdasarkan penetapan KPU pada Selasa dinihari, 21 Mei 2019 (yang mungkin masih bisa berubah berdasarkan putusan MK), sembilan parpol lolos ambang batas parlemen tersebut. Tidak ada satu pun parpol baru yang termasuk dalam kelompok parpol yang mampu mendudukkan wakilnya di DPR. Bandingkan dengan Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol nasional dan 9 di antaranya meraih kursi DPR. Sementara Pemilu 2014 diikuti oleh 12 parpol nasional dan hasilnya 10 parpol mengirimkan wakilnya ke Senayan.
Namun seberapa ideal angka PT sesungguhnya untuk bisa mencapai tujuan penyederhanaan sistem kepartaian tersebut? Tentu tidak sesederhana paparan angka di atas. Sesungguhnya sederhana-tidaknya sistem kepartaian tidak semata-mata bergantung pada jumlah parpol secara riil, tetapi lebih pada jumlah parpol efektif. Pakar sistem kepartaian menyebut ukuran itu sebagai effective number of electoral parties of voters (ENPV). Sekadar ilustrasi, kendati terjadi penciutan jumlah parpol peserta pemilu, pada Pemilu 1999 jumlah parpol secara efektif ternyata lebih sedikit ketimbang 2004. Jadi dalam kasus Pemilu 2004: upaya penciutan (lewat ambang batas) dapat dikatakan gagal menciutkan parpol secara efektif. Bagaimana pemilu berikutnya? Eits… mesti dihitung dulu dan biarkan angka-angka membeberkan fakta sebenarnya.
Salah satu cerita yang bakal dikenang dari Pemilu 2019 yang disebut sebagai pemilu serentak terbesar di dunia adalah imbas kompleksitas pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada bertumbangannya para petugas adhoc pemilu. Data Komisi Pemilihan Umum per 16 Mei 2019 jam 10.00, petugas pemilu di tingkat kecamatan sampai tingkat TPS yang meninggal sejumlah 486 orang dan yang sakit 4.849 orang. Sementara data Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan tiap provinsi mencatat hasil yang sedikit berbeda, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa.
Sekalipun sempat muncul beragam rumor mengenai penyebab wafat dan sakitnya para petugas pemilu, setidaknya ada hasil kajian lintas disiplin tim Universitas Gadjah Mada yang bisa dijadikan rujukan ilmiah. Tim yang diinisiasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIPOL), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), Fakultas Psikologi, dan Fakultas Geografi tersebut menyimpulkan bahwa penyebab kematian petugas adalah natural dan diduga karena riwayat penyakit kardiovaskular yang dimiliki. Rerata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan: berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu; 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan!
Pakar pemilu Didik Supriyanto sebagaimana dimuat di harian Kompas edisi 12 Juni 2019, “Imajinasi Hakim Konstitusi” dengan gambling menyebut: biang keruwetan Pemilu 2019 adalah Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tanggal 24 Januari 2014, yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada Pemilu 2019. MK dalam salah satu pertimbangannya memutuskan pemilu-serentak-lima-kotak tersebut adalah efisiensi anggaran atau penghematan dana negara. Asumsinya, jika petugas pemilu yang semula dengan dua kali pemilu dibayarkan dua kali, jika satu kali pemilu secara serentak cukup dibayar satu kali. Padahal dengan jumlah TPS yang membengkak dari 546.000 (pemilu legislatif) dan 478.000 (pemilu presiden) pada 2014 menjadi 810.000 pada pemilu serentak tahun ini; biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu toh tidak hemat-hemat amat. Lhadalah….
Tentunya masih banyak angka yang bisa dikulik dari Pemilu Indonesia. Percayalah: angka-angka tidak berdusta. Pendusta-lah yang memanfaatkan angka-angka. Jika setiap angka mewakili sebuah cerita, kenapa kita tidak terus mencoba menggali kedalaman makna angka-angka untuk bisa menggambarkan pemilu Indonesia yang lebih berwarna?