Bagaimana sebaiknya Indonesia menangani masalah Uighur?
Salah satu polemik terkait konflik Uighur adalah tentang peran Indonesia. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia diharapkan mampu berperan aktif untuk mengatasi persoalan palanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China kepada minoritas muslim Uighur di Xinjiang.
Komunitas muslim bersuara lantang mendesak pemerintah untuk segera bertindak. Banyak yang membandingkan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap etnis Rohingya yang dipandang sangat aktif, sementara dalam isu Uighur Indonesia terkesan pasif.
Pertanyaannya kemudian, dengan cara apa sebaiknya pemerintah menangani persoalan itu? Di ranah politik luar negeri, kasus konflik Uighur ini tidak mudah dipecahkan. Konteksnya sangat berbeda dengan konflik di Rakhine, Myanmar.
Yang paling menonjol, di Xinjiang nasionalisme etnis Uighur menghendaki kemerdekaan alias separatis. Ditambah lagi dengan keberadaan kelompok radikal Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) yang dianggap teroris oleh pemerintah China. Pemerintah tentu harus bersikap namun perlu pertimbangan yang hati-hati (prudence) supaya tidak menimbulkan resiko yang tidak perlu.
Sebelum memutuskan kebijakan luar negeri mana yang akan diambil, pemerintah perlu mempertimbangkan beragam opsi untuk dipilih. Dalam konteks konflik Uighur, setidaknya ada lima opsi kebijakan yaitu, pendekatan koersif, legal-institusional, diplomatik, kultural-relijius, dan pasif.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan namun semuanya harus bermuara pada penyelesaian konflik secara damai.
Pertama, pendekatan koersif adalah opsi kebijakan yang paling keras. Bentuknya bisa berupa boikot produk-produk dari China maupun pengurangan pinjaman atau investasi. Mengingat Indonesia merupakan pasar besar bagi komoditas asal China sekaligus tempat investasi bagi China, masuk akal apabila opsi ini dipertimbangkan. Harapannya, dengan tekanan ekonomi China mau melunak.
Akan tetapi, efektifitas pendekatan ini meragukan sebab China adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia. China punya mitra dagang besar dari negara-negara lain. Indonesia bahkan tak menduduki peringkat 15 besar negara mitra dagang terbesar bagi China. Artinya, jika opsi boikot ekonomi benar-benar diambil, dampaknya tak cukup signifikan karena China bisa mengalihkan pasarnya ke negara-negara lain. Lagipula, negara-negara Muslim seperti Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab justru mendukung kebijakan represif China.
Kedua, pendekatan legal-institusional yaitu dengan membawa isu Uighur ke Dewan HAM PBB. Opsi ini di permukaan tampak rasional dan konkret. Ditambah lagi status Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB turut menambah daya tawar untuk menekan China. Tak ayal, kebijakan ini akan membuat China diperlakukan layaknya ‘kriminal’ yang harus diadili di muka internasional.
Apakah kebijakan ini masuk akal? Jawabannya adalah tidak. Alasannya ada dua. Pertama, tindakan itu bisa menjadi bumerang buat Indonesia yang menjalin kerja sama ekonomi dengan China. Artinya, opsi membawa isu Uighur ke Dewan HAM PBB bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia yang saat ini begitu membutuhkan bantuan finansial dan investasi dari China. Kedua, melaporkan kejahatan negara ke institusi internasional bukan tipikal diplomasi Indonesia. Kultur diplomasi Indonesia tidak seperti Barat yang terbiasa dengan strategi ‘naming and shaming’ (mengecam dan mempermalukan) negara lain.
Ketiga, pendekatan diplomatik yaitu dengan melakukan negosiasi G to G atau ‘Track 1 diplomacy’. Kepala negara atau minimal pejabat setingkat menteri luar negeri bisa menjalankan misi diplomatik membujuk pemerintah China untuk menghentikan kekerasan. Jika misi diplomatik tidak memungkinkan, setidaknya kepala negara berkirim surat kepada pemimpin China sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian.
Namun, pendekatan ini juga kurang efektif karena dua alasan. Pertama, adanya ketimpangan kekuasaan (disparity of power) antara Indonesia dan China. China adalah negara besar (great power) sedangkan Indonesia adalah kekuatan menengah (middle power). Dalam politik internasional, disparitas kekuasaan ini menentukan posisi tawar suatu negara ketika berdiplomasi. Kedua, pendekatan ini kurang konkret karena secara substansi yang dapat dilakukan hanya menghimbau atau mengusulkan. Sekalipun misalnya China setuju dengan usul Indonesia, komitmen untuk melakukannya diragukan sebab diplomasi tidak bersifat mengikat.
Keempat, pendekatan kultural-relijius yaitu dengan mengandalkan organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk berperan aktif mempromosikan perdamaian di Xinjiang. Pendekatan ‘track 2 diplomacy’ ini sudah pernah ditempuh, misalnya saat delegasi dari NU dan Muhammadiyah berkunjung ke Xinjiang pada Februari 2019. Hasilnya, alih-alih mengungkap penindasan terhadap minoritas Uighur, mereka justru melaporkan hal-hal positif tentang kebijakan China.
Terlebih lagi, pemerintah China secara aktif mendekati pesantren dengan menawarkan program beasiswa untuk santri Indonesia. Hal ini pada gilirannya berpotensi menciptakan dilema di kalangan kelompok Islam di Indonesia.
Kelima, pendekatan non-intervensionis yaitu Indonesia memilih pasif dengan alasan menghormati kedaulatan China. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa konflik Uighur bukan konflik agama melainkan separatisme sehingga negara punya legitimasi untuk menindaknya.
Kelemahan pendekatan ini adalah pemerintah akan dicap melanggar konstitusi karena abai terhadap upaya menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan Alinea-4 UUD 1945. Indonesia akan dicap tidak konsisten dengan identitasnya sebagai ‘pencipta perdamaian’ dan ‘negara muslim terbesar di dunia’. Jika opsi ini dipilih, maka gejolak domestik akan berpotensi mengganggu stabilitas.
Jadi, opsi kebijakan mana yang paling rasional bagi Indonesia? Tidak ada opsi yang ideal. Tetapi dari kelima pendekatan di atas, opsi ketiga (pendekatan diplomatik) agaknya lebih menjanjikan dibanding yang lain. Kedatangan pemimpin negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia akan menjadi prestise tersendiri bagi China. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia menaruh perhatian serius pada isu Uighur dan berharap China mau mengubah kebijakannya.
Yang perlu digarisbawahi adalah, pendekatan diplomatik itu tidak sekedar himbauan atau usulan melainkan bagaimana Indonesia bisa meyakinkan pemerintah China tentang cara menangani masalah separatisme dan terorisme secara efektif tanpa perlu tindakan represif. Pengalaman Indonesia dalam mengatasi kedua persoalan tersebut bisa menjadi modal politik untuk meyakinkan China.
Pertanyaannya kemudian, mampukah Indonesia mengubah persepsi China?