Bahaya hoaks jelang tahun politik
Problematika hoaks dalam konteks politik ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun merupakan fenomena global. Misalkan saja pada Juli 2018 ini, sebuah komite di Parlemen Inggris, setelah melakukan penelitian panjang, menyebutkan berita bohong menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi.
Demikian juga di Singapura, pada Maret 2018, parlemennya membentuk panitia khusus yang menghadirkan lebih dari seratus narasumber dari berbagai negara. Tujuannya mengetahui seluk beluk kebohongan di dunia digital dan potensi dampak bahaya terhadap masyarakat heterogen dan multi kultur seperti di Singapura.
Hoaks menjadi topik perhatian dunia ketika Donald Trump memenangkan Pilpres Amerika 2016. Pada saat itu, banyak orang menilai kemenangannya terbantu karena tersebarnya banyak berita bohong yang diproduksi di luar Amerika.
Sesungguhnya Indonesia sudah mengalami badai hoaks politik terlebih dahulu ketika Pilpres 2014, atau bahkan sebelumnya, yaitu ketika Pilgub DKI 2012. Komunitas anti hoaks mencatat kenaikan hoaks politik yang signifikan setiap kali ada pesta demokrasi yang berlangsung.
Badai hoaks politik ini masih terus berlanjut ketika Pilgub DKI 2017 dan berpotensi mengancam kualitas pesta demokrasi Indonesia 2019, atau lebih parah lagi, berpotensi merusak persatuan Indonesia.
Setidaknya ada beberapa faktor mengapa hoaks masih mudah tersebar luas di Indonesia. Pertama, karena literasi masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Termasuk di dalamnya adalah literasi media dan literasi digital. Kedua, terbentuknya pembelahan di masyarakat akibat isu politik dan sara sehingga muncul efek ruang gema (echo chamber).
Di era digital ini justru alam pikiran masyarakat cenderung semakin homogen yang tentu saja akan berkonflik dengan realitas masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Ketiga, menurunnya kualitas jurnalisme media arus utama, ditambah sebagian media yang partisan, yang menyediakan bahan bakar bagi suburnya hoaks di tengah masyarakat yang miskin literasi ini.
Penyebaran hoaks politik di tahun demokrasi tentu saja bisa sangat berdampak bagi turunnya kualitas demokrasi dan membuka potensi konflik antar masyarakat. Tidak salah jika Ray Rangkuti dari Lingkar Madani menyebutkan bahwa hoaks politik dan sara saat ini lebih ampuh untuk mempengaruhi masyarakat daripada politik uang.
Kebanyakan hoaks politik yang muncul menyangkut politik identitas, bukan program atau visi-misi kandidat. Sehingga yang dikhawatirkan adalah bergesernya model kampanye positif, tidak lagi hanya menjadi kampanye negatif, namun menjadi dominan kampanye hitam yang penuh dengan fitnah, hasut dan hoaks.
Hoaks politik sangat menyita waktu, tenaga, dan perhatian masyarakat yang seharusnya bisa digunakan untuk berdialektika ataupun berdebat untuk topik yang lebih positif. Alih-alih berdebat serius terkait program kerja, waktu masyarakat yang saat ini cukup banyak dihabiskan di ranah digital, justru bibit pertengkaran antar kelompok masyarakat yang semakin subur karena termakan issue yang seringkali dipicu oleh akun media sosial ataupun media abal-abal. Beberapa daerah yang rawan konflik antar masyarakat karena memiliki latar belakang historis problem antar etnis dan agama, pun terancam kedamaiannya.
Mengatasi problem hoaks politik ini membutuhkan pendekatan multi dimensi. Tak hanya cukup dengan memberikan klarifikasi fakta yang sesungguhnya ketika hoaks muncul, namun juga harus disertai dengan upaya edukasi literasi yang massif, tak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga komponen masyarakat ikut menanggungnya. Para tokoh masyarakat dan agama, hendaknya aktif memberikan nasehat tentang pentingnya bermedia sosial yang positif dan jauh dari kebohongan.
MUI juga sudah mengeluarkan fatwa khusus terkait pedoman bermuamalah di media sosial pertengahan tahun lalu, dan juga diikuti oleh beberapa lembaga berpengaruh di Indonesia dari lintas agama dan kepentingan. Peran keluarga sangatlah penting, karena disanalah garda terdepan untuk melawan kebohongan di ranah digital.
Untungnya Indonesia termasuk negara yang cukup serius untuk menangani fenomena hoaks politik ini. Setidaknya ada beberapa inisiatif yang digagas baik oleh masyarakat ataupun pemerintah untuk menyajikan klarifikasi fakta ketika hoaks muncul.
Salah satunya adalah diluncurkannya platform Cekfakta.com oleh Mafindo beserta 22 media online arus utama yang didukung oleh Google, Internews, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Selain itu tahun 2018 ini, Google bekerjasama dengan AJI tengah melatih lebih dari 1800 jurnalis di seluruh Indonesia terkait teknik verifikasi informasi di ranah digital. Pemerintah melalui Kominfo meluncurkan portal agregasi stophoax.id, dan juga menggalakkan gerakan nasional literasi digital SiBerkreasi.
Namun upaya ini tidak akan pernah cukup jika tidak disertai dengan gerakan silaturahmi secara massal. Silaturahmi antar masyarakat, dan mengingat kehidupan masyarakat Indonesia umumnya berbasis ketokohan, sangat penting untuk mengajak para tokoh lintas afiliasi politik, lintas etnis, lintas agama, lintas profesi untuk memperbanyak tatap muka sebagai obat atas penyakit yang muncul karena terlalu seringnya kita saling mencurigai akibat termakan informasi tak lengkap yang beredar di linimasa media sosial ataupun group percakapan.
Khususnya kepada para tokoh dan elit politik, mereka harus lebih banyak bertemu wajah, dan menyepakati bahwa ketikapun demokrasi membolehkan debat yang keras sekalipun, tetapi norma kita tidak mentoleransi penggunaan kebohongan. Saatnya para elit politik kita mengakhiri budaya buruk zero sum game, dan berbalik berani mengapresiasi kebaikan lawan politiknya, dan mengkritik dengan kritik yang berbasis data dan fakta, serta tidak meninggalkan norma dan budaya luhur yang selama ini diwariskan oleh para pendahulu bangsa ini.