Basa-basi janji antikorupsi
Dunia politik kembali terguncang sekaligus tercoreng. Oknum politisi terkemuka terkena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (15/3). Tokoh yang ditangkap adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuziy atau akrab disapa Romi.
Romi merupakan salah satu politisi muda yang melesat. Ia sukses menjadi pucuk tertinggi parpol meski diwarnai konflik berkepanjangan. Politisi asal Jogja ini juga sering menggaungkan spirit antikorupsi. Posisinya sebagai ketum parpol, dan caleg selalu meyakinkan publik terkait spirit tersebut. Sayangnya, kini harapan itu sirna dan terbantahkan oleh fakta.
Kampanye pemilu identik dengan musim janji politik. Tebar janji politik saat kampanye adalah keniscayaan yang dibenarkan. Janji antikorupsi memang manis dan bisa menghipnotis publik. Frustasi publik terkait korupsi tampak akan bertambah karena antikorupsi hanya menjadi basa-basi janji.
Janji politik
Esensi kampanye untuk mendulang suara membutuhkan strategi janji. Kompetisi yang keras dan ketat berimplikasi terhadap semakin beraninya politisi dalam menebar janji. Trauma publik mengisyaratkan bahwa sebagian besar janji politik sekadar basa-basi dan banyak diingkari.
Janji merupakan strategi kampanye demi meningkatkan elektabilitas. UU Pemilu menegaskan bahwa kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta pemilu dan atau informasi lainnya. Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Artinya janji politik mesti berprinsip mendidik publik melek politik dan akuntabel.
Janji hanyalah tawaran bonus politik. Ada atau tidak ada janji, caleg yang jadi atau parpol yang berkuasa tetap memiliki kewajiban menyejahterakan warga. Regulasi telah rinci memuat kewajiban setiap anggota legislatif untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Kristiadi (2014) menyampaikan bahwa janji politik merupakan etika sosial dan bagian dari peradaban. Hal ini terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Janji politik misalnya berupa akan melakukan upaya menyejahterakan rakyat atau tidak akan melakukan korupsi.
Sihir janji politik di musim kampanye Pemilu 2019 diprediksikan akan memudar kekuatan pengaruhnya. Kondisi ini berangkat dari pengalaman masyarakat menyikapi jani-janji pada pemilu sebelumnya. Hasil survei Lembaga Riset dan Polling Indonesia (2014) menyebutkan 83,3% responden menilai parpol belum memenuhi janji-janji kampanye kepada konstituen.
Parpol yang dinilai belum memenuhi dan mengingkari janji dapat disebabkan beberapa kemungkinan. Pertama, parpol tidak menyusun visi dan misi secara realistis dan aplikatif. Kedua, parpol dibentuk secara pragmatis oleh politisi yang hanya berambisi mencari keuntungan pribadi dan kelompok. Ketiga, parpol menjadi tempat pelarian politisi yang kurang puas dari parpol lamanya. Keempat, parpol sekadar tempat mencari makan dari politisi.
Caleg yang sengaja atau tidak sengaja belum memenuhi dan mengingkari janji politik disebabkan faktor kualitas dan integritas. Caleg yang tidak memiliki kapasitas memadai akan kebingungan bagaimana merumuskan dan merealisasikan janjinya dalam kebijakan politik saat berkuasa. Caleg yang tidak memiliki integritas akan mudah melupakan janji dan hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
Sikap kritis
Masyarakat tidak bisa lari dari kenyataan hadirnya banjir janji politik selama kampanye. Masyarakat mesti proporsional pula dalam mengajukan proposal politik terhadap caleg dan parpol. Sikap kritis penting ditunjukkan terhadap pemberi janji agar mereka tidak main-main dan menempatkan janji sekadar basa-basi politik.
Pertama, melihat rekam jejak serta integritas caleg dan parpol. Rekam jejak menjadi indikator peluang penepatan janji. Perilaku dan tingkah polah mereka selama ini dapat menjadi ukuran penilaian. Integritas dapat dinilai dari moralitas dan akuntabilitas. Caleg dan parpol yang kerap melanggar moralitas politik dan tidak akuntabel terhadap publik hampir pasti akan mengingkari janji.
Kedua, basa-basi menanggapi janji berlebihan atau dari politisi busuk. Politisi yang basa-basi dalam berjanji mesti disikapi dengan basa-basi juga. Janji mereka cukup didengarkan sambil lalu untuk tidak diperhatikan dengan serius. Masyarakat diharapkan tidak mudah memberikan janji dukungan suara kepada mereka.
Ketiga, menangkal janji politik material. Iming-iming materi dalam pemilu termasuk politik uang yang haram. Politik uang adalah hantu penghisap darah uang rakyat. Korupsi umumnya menjadi jalan politisi untuk mengembalikan modal dalam berpolitik uang. Janji ini bukan lagi sekadar basa-basi tetapi sudah mengarah pada niatan mengkhianati demokrasi. Janji materi mesti dilawan dan dilaporkan kepada Panwaslu.
Keempat, menghukum pemberi janji palsu secara sosial dan elektoral. Trauma berdasarkan pengalaman sebelumnya mesti diungkapkan dengan pemberian hukuman. Caleg atau parpol yang sudah terbukti pernah mengingkari dapat dihukum dengan tidak memberikan suara kepadanya. Sebelum menyikapi janji terlebih dahulu dapat dituntut dari mereka janji sebelumnya. Upaya ini dapat menjadi informasi sekaligus pendidikan politik bagi publik. Publik berhak memberikan sanksi elektoral sebagai karma bagi para pemberi janji yang mudah mengkhianati.
Kelima, ke depan semua pihak penting memikirkan mekanisme pertanggungjawaban atas janji politik. Upaya ini dapat menjadi pertimbangan politisi agar tidak mudah memberikan janji manis di depan tanpa realisasi.
Hasil survei Lembaga Riset dan Polling Indonesia (2014) menyebutkan 81,3% responden menganggap perlu ada mekanisme pertanggungjawaban parpol. Persoalannya publik masih gamang terkait bentuk pertanggungjawabannya. Hal ini terlihat dari hanya 36,5% yang menyetujui mekanisme pembubaran partai sebagai hukuman bagi parpol. Sementara 46% lainnya menjawab tidak tahu dan 14,7% secara tegas menyatakan tidak perlu dilakukan pembubaran parpol.
Pengaturan janji politik tentu akan sulit dan rumit. Sulit mengingat penyusun regulasi memiliki konflik kepentingan. Rumit terkait ukuran penilaiannya. Janji-janji normatif, kualitatif, dan tanpa bukti akan tidak mudah dinilai. Selama ini janji politik masih bekerja di lingkup etika dan moralitas. Minimal publik mesti melek politik untuk bisa menyikapi kritis setiap janji dan memberikan sanksi jika mengingkari.
Pemilu 2019 menjadi barometer pengukuran kualitas demokrasi.
Jika basa-basi janji dari politisi masih marak terjadi, maka mengindikasikan belum membaiknya kualitas demokrasi. Rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan berhak menilai dan mengawasi sehingga kontestan pemilu berpikir seribu kali setiap akan menyodorkan janji-janji.