Benarkah utang pemerintah yang melonjak masih aman?
Posisi utang Pemerintah per akhir November 2019 mencapai Rp4.814,31 triliun, dengan rasio atas PDB sebesar 30,03%. Kementerian Keuangan, dalam dokumen APBN Kita edisi Desember 2019, mengatakan hal ini masih dapat ditoleransi karena masih berada jauh di bawah batas aman seperti yang ditentukan Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 60% dari PDB.
Disebutkan pula bahwa melalui penetapan batas maksimum yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, Pemerintah benar-benar prudensial dalam menentukan besaran utang yang akan dibuat dan benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan APBN serta sesuai kondisi pasar.
Pernyataan itu sebenarnya merupakan tafsiran Kementerian Keuangan saat ini. Undang-Undang No 17 tahun 2003 dimaksud tidak ada sama sekali menyebut kata aman. Pasal 12 ayat 3 menyatakan 'dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-Undang tentang APBN'.
Pada bagian penjelasannya disebutkan bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
Batas rasio utang dimaksud adalah dalam hal pelanggaran undang-undang. Tidak secara langsung dinyatakan sebagai batas aman atau tidaknya posisi utang pemerintah. Teori ekonomi tentang utang pun tidak ada yang secara spesifik menyebut batas aman berupa rasio sebesar itu.
Perlu diingat bahwa rasio utang pemerintah pada 1996 hanya sebesar 24%. Artinya, sebelum terjadi krisis. Atau terkesan sangat aman. Ketika krisis mulai terjadi, rasionya meningkat menjadi 38%. Dan baru melesat menjadi 58% ketika krisis telah berlangsung lebih dari setahun.
Rasio yang melampaui 60% justru terjadi selama lima tahun, dari 1999 sampai dengan 2003. Pada 2003 ketika UU tersebut ditetapkan, rasionya telah turun menjadi 61%. Dan sejak 2004, rasio cenderung terus turun hingga mencapai 24,74% pada 2014. Mulai 2015, rasionya perlahan meningkat kembali.
Selama lima tahun terakhir, dari posisi akhir 2014, utang tercatat bertambah sebanyak Rp2.205 triliun. Dari Rp2.609 triliun menjadi Rp4.814 triliun. Rasionya atas PDB meningkat sebesar 5,29%, dari 24,74% menjadi 30,03%. Ada kemungkinan posisi utang dan rasionya akan bertambah selama Desember 2019.
Tentu saja, utang bersifat akumulasi dan diwariskan dari era pemerintahan sebelumnya. Namun dapat diperiksa kontibusi dan laju tambahan tiap periode.
Selama lima tahun sebelumnya, dari akhir 2009 sampai akhir 2014, utang bertambah Rp1.108 triliun. Namun, rasionya turun sebesar 3,62%. Era lima tahun sebelumnya lagi, dari akhir 2004 sampai akhir 2009, utang hanya bertambah Rp291 triliun. Sedangkan rasionya turun drastis sebesar 28%.
Begitu pula jika dikatakan bahwa utang saat ini bersifat produktif. Kenyataannya, tiap era memang memakai utang untuk keperluan produktif sekaligus juga untuk hal lain yang bersifat rutin dan atau operasional. Salah satu cara memeriksanya adalah melihat perkembangan Belanja Modal Pemerintah Pusat dan pengeluaran investasi yang tidak dicatat sebagai belanja, melainkan dalam pos pembiayaan.
Belanja modal memang tampak bertambah dan dengan laju rata-rata yang sedikit lebih tinggi selama lima tahun terakhir dibanding era sebelumnya. Begitu pula dengan pertumbuhan pengeluaran investasi, seperti investasi pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Layanan Umum. Akan tetapi, laju dari belanja modal ditambah pengeluaran investasi tetap belum mengimbangi laju tambahan utang.
Tentu saja tambahan utang disebabkan pula oleh hal lain, seperti perubahan kurs. Jika faktor lain tidak diperhitungkan, maka tambahan utang tercermin pada pos pembiayaan utang dalam APBN. Sebagai contoh realisasi pembiayaan utang sampai dengan 30 Nopember 2019 sebesar Rp442,92 triliun. Diprakirakan akan bertambah lagi hingga akhir tahun, dan dapat mencapai Rp450 triliun selama 2019.
Tampak jelas bahwa pembiayaan utang cenderung terus meningkat pesat selama lima tahun terakhir. Nilainya makin melampaui belanja modal dan pengeluaran investasi. Artinya, pemakaian utang yang tidak atau kurang produktif juga meningkat pesat.
Tambahan cara lain untuk menimbang seberapa produktif sifat utang pemerintah adalah dengan membandingkan tambahan utang dengan tambahan nilai asetnya. Data yang dapat dipakai adalah posisi utang dan nilai aset pemerintah pusat pada akhir tahun.
Nilai aset dan utang meningkat dengan laju berbeda. Dahulu, laju pertumbuhan aset lebih cepat, sehingga rasio utang atas aset membaik. Sempat mencapai 57,61% pada 2012. Kemudian berbalik arah, hingga mencapai 69,85% pada 2018.
Perlu diketahui bahwa revaluasi aset yang nilainya sangat signifikan terjadi pada 2015. Revaluasi masih berlanjut pada 2017 dan 2018. Meskipun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dinyatakan wajar tanpa pengecualian, BPK sebenarnya masih belum memberi opini untuk revaluasi aset 2017 dan 2018. Masih ada beberapa aspek penting yang diperdebatkan oleh para ahli akuntansi keuangan pemerintah.
Bagaimanapun harus diakui bahwa sebagian utang selama ini memang untuk keperluan produktif. Pemerintah pun jelas tidak melanggar undang-undang dalam hal batas rasio utang. Akan tetapi, tampak jelas bahwa kondisi utang makin membebani APBN, sehingga mengurangi kemampuan fiskal melakukan kebijakan yang lebih efektif.
Klaim tentang aman juga perlu didiskusikan lebih lanjut.Tampak aman pada saat ini, namun tak ada jaminan untuk satu dua tahun ke depan. Apalagi jika resesi terjadi dalam skala yang cukup besar.
Tentu kita tidak berharap hal itu akan terjadi. Tak ada salahnya jika Pemerintah lebih waspada. Dimulai dengan komunikasi publik tentang kondisi utang yang lebih terbuka dan persuasif. Bukan berupa klaim berlebihan.