Berita baik di antara kabar buruk beras
Kabar menggembirakan itu datang dari kawasan Pasar Baru, Jakarta. Persisnya dari Badan Pusat Statistik (BPS). Seperti tertuang di Berita Resmi Statistik, 17 Oktober 2022, BPS memperkirakan produksi beras tahun ini mencapai 32,07 juta ton, naik 2,29% dari produksi 2021 (31,36 juta ton). Kenaikan produksi beras karena ada tambahan luas panen: dari 10,41 juta hektare pada 2021 menjadi 10,61 juta hektare pada 2022 atau naik 1,87%. Meskipun minor, produktivitas juga turut menyumbang kenaikan: dari 5,22 ton gabah kering panen (GKP)/hektare pada 2021 jadi 5,24 ton GKG/hektare pada 2022.
Perkiraan BPS ini bisa terjadi apabila luas panen rentang Oktober-Desember 2022 yang sebesar 1,91 juta hektare sesuai yang diperkirakan. Luas panen ini naik 16,45% dari luas panen periode yang sama pada 2021 (1,65 juta hektare). Ini penting dicatat karena luas panen itu baru potensi. Potensi, boleh jadi, turun dari perkiraan apabila faktor iklim tidak sepenuhnya bisa dimitigasi. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, melansir La Nina –yang ditandai intensitas hujan lebih tinggi dari normal—terjadi hingga Januari 2023. Di beberapa daerah, Aceh misalnya, banjir dilaporkan merusak area padi.
Bagi dunia pertanian, La Nina bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Ia menjadi berkah karena membuat musim kemarau jadi basah. Artinya, meskipun kemarau hujan tetap turun. Ini membuat sejumlah wilayah yang di kala normal tak bisa ditanami karena ketiadaan air bisa ditanami. Berkah 3 tahun beruntun itu dialami Indonesia sejak 2020. Berkat La Nina, meskipun Covid-19 menghajar, produksi aneka komoditas pangan relatif tak terganggu. La Nina menjadi bencana apabila bersamaan dengan musim hujan. Karena intensitas hujan cenderung di atas normal. Potensi bencana, seperti banjir, amat terbuka.
Dalam kondisi normal, Oktober-Maret adalah musim penghujan. Pada musim ini petani beramai-ramai mulai tanam padi, yang akan dipanen massal di periode Februari-Mei 2023. Karena massal, periode ini dinamai panen raya. Andil 4 bulan ini mencapai 60-65% dari total produksi beras setahun. Karena itu, dalam konteks padi/beras, Oktober-Mei adalah periode paling krusial. Krusial karena akan memastikan dua hal. Pertama, memastikan tanam massal berjalan baik hingga berlanjut panen raya. Kedua, memastikan panen di kala paceklik (Oktober-Januari) juga tidak mengalami gangguan berarti.
Intensitas hujan di atas normal karena La Nina, di satu sisi, bisa mengganggu tanam padi. Di sisi lain, fenomena hujan di atas normal juga bisa membuat panen padi gagal. Banjir dan longsor akibat intensitas hujan yang tinggi, potensial mengancam dua-duanya: tanam dan panen padi. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian dibantu Pemda mesti berjibaku mengamankan periode ini. Kebutuhan bibit, pupuk, kredit serta alat dan mesin pertanian harus dipastikan tidak ada kendala. Terutama ketersediaan pupuk setelah pemerintah merealokasi jenis pupuk bersubsidi (dari 7 tinggal 2 jenis) dan komoditas penerima pupuk subsidi (dari 69 tinggal 9). Juga mesin pengering agar panen tak rusak.
Rentang Oktober-Mei juga penting dalam konteks pengendalian inflasi. Akhir-akhir ini muncul keluhan dari konsumen karena harga beras naik. Padahal, jika ditelusuri kenaikan harga baru terjadi sejak Agustus 2022. Rentang Agustus-September 2022 beras jadi salah satu komoditas pangan penyumbang inflasi, setelah lima bulan sebelumnya (Maret-Juli) mengalami deflasi. Jika ditarik lebih ke belakang, pada 2020 dan 2021 beras mengalami deflasi 7 dari 12 bulan di masing-masing tahun. Karena itu, bisa dipahami sepanjang 2020-2021 relatif tidak ada keluhan harga beras. Harga beras relatif stabil. Jika tahun-tahun sebelumnya beras jadi biang inflasi, 2-3 tahun digeser oleh komoditas lain.
Bagi mereka yang menggunakan “kaca mata kuda”, harga beras yang stabil adalah prestasi membanggakan bagi pemerintah. Stabilnya pasokan dan harga membuat inflasi yang disulut oleh beras akan rendah. Tapi pandangan ini amat bias kepentingan konsumen dan pemerintah, tapi abai kepentingan produsen. Tentu ini tak adil. Sejak ada beleid harga eceran tertinggi (HET) beras, September 2017, petani menerima harga gabah yang rendah dan cenderung terus menurun. Pada periode 2016-2017 harga GKP di tingkat petani sebesar Rp4.619/kg, merosot jadi Rp 4.589/kg periode Januari 2021 hingga April 2022. Pertumbuhan harga GKP bulanan jadi negatif 0,48%. Bandingkan dengan pertumbuhan bulanan harga GKP periode 2011-2015, yang positif 0,69% (Sawit, 2022).
Nasib serupa terjadi pada penggilingan padi. Harga beras di konsumen terus tertekan. Harga beras hampir tidak bergerak naik 2-3 tahun terakhir, baik beras kualitas medium maupun premium. Pertumbuhan harga beras medium bulanan juga minus 0,63%. Perdagangan beras lunglai, karena perbedaan harga antarmusim dan antarwilayah hampir tidak terjadi. Tingkat stabilisasi harga beras yang diukur dengan coefficient of variation sangat rendah, hanya 1,2% periode Januari 2021 hingga April 2022. Sedangkan periode 2016-2017 mencapai 4,4% (Sawit, 2022). Secara keseluruhan, konsumen diuntungkan. Tapi beban yang ditanggung petani dan penggilingan padi amat besar dan memberatkan.
Rentang September-Oktober 2022 harga gabah dan beras cenderung naik. Harga dipastikan akan bertahan di level tinggi, bahkan ada peluang terus melonjak menuju akhir tahun dan Januari 2023. Sesuai hukum pasokan-permintaan, pada periode paceklik ini produksi gabah/beras lebih kecil dari kebutuhan. Panen di sejumlah tempat, seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, masih ada. Tapi jumlahnya kecil. Harga gabah/beras dari panen yang kecil itu berpeluang terus terkerek naik karena jadi rebutan pedagang, penggilingan, dan Bulog. Dibandingkan pedagang dan penggilingan, Bulog kalah lincah.
Bukan saja karena tidak punya “kaki dan tangan” hingga ke petani, Bulog juga diikat oleh aneka aturan yang rigid untuk memupuk cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelolanya. Untuk memperbesar serapan, sejak September lalu Bulog diberikan fleksibilitas harga: harga GKP di petani naik dari Rp4.300/kg jadi Rp4.450/kg dan beras di gudang Bulog naik dari Rp8.300/kg menjadi Rp8.800/kg. Fleksibilitas yang semula hanya diberlakukan hingga 30 Nopember 2022 itu pun diperpanjang sampai waktu yang belum ditentukan. Bahkan, Bulog kini diminta menyerap beras premium untuk mengisi CBP. Akan tetapi, dua beleid baru ini dipastikan tidak banyak membantu pengadaan.
Per 3 Oktober 2022, jumlah CBP di gudang Bulog hanya 798.013 ton. Sampai akhir 2022, penyerapan beras ditaksir hanya 100 ribu ton. Ini berkaca dari pengadaan beras sejak September 2022 rerata hanya 500-1.000 ton beras per hari. Di sisi lain, aliran beras CBP keluar gudang lewat operasi pasar amat deras: rerata 201.985 ton/bulan pada Agustus-September. Dengan asumsi volume operasi pasar pada Oktober-Desember 2022 seperti rentang Agustus-September, berarti CBP di akhir tahun hanya tinggal 300 ribu ton (798.013 ton + 100.000 ton – 600.000 ton). Volume CBP ini amat-amat rendah, jauh dari jumlah aman atau jumlah yang ditargetkan oleh pemerintah: 1-1,2 juta ton beras.
Ini sinyal darurat. CBP yang kecil berpengaruh pada psikologi pasar: pemerintah lewat Bulog tak memiliki volume memadai untuk mengintervensi pasar. Pihak-pihak yang menguasai stok beras dalam jumlah besar bisa leluasa memainkan dan mendikte harga. Jika itu terjadi, harga beras potensial naik tinggi, inflasi juga terkerek tinggi. Ini pertanda peluit bahaya berbunyi. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, terutama warga miskin, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Kala harga beras naik bisa berbuntut panjang: terjadi perebutan di pasar dan panic buying. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Tidak terbayang bagaimana kondisi sosial-politik bila itu terjadi. Bukan mustahil situasi 1997-1998 terulang: rezim bisa tumbang.