Bunuh diri, sontoloyo, dan bajingan
Tanah air kembali diguncang, bukan oleh gempa, melainkan kasus bunuh diri satu keluarga di Palembang. Sang kepala keluarga bukan saja membunuh dua anjing kesayangan, tapi juga istri dan kedua anaknya. Apa yang terjadi di sini? Polisi sedang melakukan investigasi, kita tidak perlu main spekulasi.
"Kalau secara sosiologis, kemungkinan terkait dengan situasi yang tengah dia hadapi, dan kemudian dia terjemahkan sebagai beban yang tidak bisa dia tanggung," kata Iqrak Sulhin, kriminolog Universitas Indonesia, saat berbincang dengan detikcom, Rabu (24/10) malam.
Jika kita meminjam pemikiran David Emile Durkheim, sosiolog Perancis, ada empat tipe bunuh diri, yaitu egoistik, altruistik, anomo, dan fatalistik. Dari berita yang saya baca tersebut, bisa jadi penyebab bunuh diri (seorang atau satu keluarga, perlu dibuktikan lebih lanjut), merupakan tipe egoistik.
Durkheim, penulis buku Suicide: A Study in Sociology (1897) menyebutkan, bunuh diri egoistis disebabkan pelaku merasa kepentingan dirinya sendiri (dan keluarga) lebih penting ketimbang lingkungan sosialnya. Karena lelah menghadapi dunia yang ‘tidak lagi ramah’, Fransiscus (47) memilih menyerah.
Isi suratnya menyiratkan hal ini: “Aku sudah sangat lelah. Maafkan aku. Aku sangat sayang dengan anak dan istriku. Choky dan Snowy (nama kedua anjingnya). Aku tidak sanggup meninggalkan mereka di dunia ini.”
Bagi Fransiscus (bersama keluarga atau tidak), perjuangannya untuk hidup di dunia ini sudah terlalu berat untuk dijalani. Jadi, bukan hanya tipe egoistik, menurut saya bercampur dengan tipe anomi dan fatalistik. Mengapa anomi? Fransiscus sebagai kepala keluarga kehilangan arah untuk mengarahkan keluarga, sekaligus diri sendiri. Ia tak sanggup menghadapi ‘kejamnya dunia’ yang sebenarnya dirasakan juga oleh banyak orang.
Mengapa fatalistik? Dari pengakuan PRT-nya, beberapa hari sebelum peristiwa nahas ini, terjadi keributan antara Fransiscus dan Margareta (45). Sang istri dikabarkan minta cerai. Tekanan dari istri bisa jadi membuatnya kehilangan kemampuan interaksi sosial, sehingga belakangan memilih untuk mati. Lalu, mengapa harus mengajak semua anggota keluarga? Dari sini tipe egoistik kembali mencuat. Tidak mau pergi sendiri.
Merasa tidak mampu berbuat apa-apa
Apa yang dilakukan Fransiscus di Palembang mengingatkan saya pada suatu siang yang mencekam. Saya sedang sibuk di kantor ketika didatangi seorang teman.
“Bisa bicara sebentar?” tanyanya tanpa basa-basi.
Saat melihat pergelangan tangannya, hati saya terkesiap. Lengan kiri di bagian nadi terbungkus kain kasa dengan noda darah segar.
Saya segera mengajaknya ke ruang saya. “Apa yang terjadi?”
Ia tidak mampu berbicara. Air mata mengalir begitu deras. Setelah bisa mengendalikan dirinya, dia cerita, hidupnya tidak lagi berarti. Karena persaingan usaha yang ketat di tengah sikon ekonomi yang lesu, dia di-PHK dari kantornya. Saat mengabarkan berita itu kepada pacarnya, dengan harapan mendapat dukungan, pacarnya justru meninggalkannya dengan kalimat yang menyesakkan dada. Dia tidak mampu mengulangi ucapan pacarnya di hadapan saya.
Dengan pikiran pening, dia pulang ke rumah. Orang tua lapor, sang kakak pergi meninggalkan rumah karena bertengkar hebat dengan ayahnya. Dia sangat sayang kepada kakaknya itu. Sebab, kakaknya yang biasa menjadi tempat curhat ketika dia ditimpa masalah.
Di tengah kekalutan, dia melihat sebilah pisau cutter di mejanya. Entah apa atau siapa yang menggerakannya, tiba-tiba dia sudah menyayat nadi kirinya. Jika saja pertolongan datang terlambat, dia sudah tidak sempat mengunjungi saya.
Benarkah dunia sesuram itu?
Dua orang yang sama-sama menghadapi masalah, bisa merespons dengan cara yang berbeda. Yang satu bisa saja frustrasi dan bunuh diri, sedangkan yang lain, meskipun dengan air mata bercucuran, memutuskan untuk tetap menghadapinya dengan kepala tegak. Dari orang kedua inilah saya mendapat pepatah Jerman yang luar biasa. “So ist das Leben. Das Leben ist hart, grausam und erbarmungslos, aber trotzdem ist es noch schoen.” Itulah namanya hidup. Hidup itu keras, kejam, mengerikan, dan tanpa belas kasihan, tapi meskipun demikian (hidup) itu indah.
Papatah Tiongkok klasik berkata, "人生最大的敌人是自己" Musuh terbesar manusia adalah diri sendiri. Orang yang mampu menguasai dirinya lebih dari pahlawan yang menguasai kota.
Perlukah sontoloyo dihadapi dengan bajingan?
Bersamaan dengan kabar keluarga menyedihkan dari Palembang ini, dunia perpolitikan di Indonesia sedang ramai membahas istilah ‘sontoloyo’. Jokowi melontarkan kata yang dianggap kurang santun itu untuk politisi yang gemar menghalalkan banyak cara demi meraih jabatan. Jokowi mengaku keceplosan. Istilah ini langsung disambar Fadli Zon dengan menulis puisi dengan kata kunci ‘sontoloyo’ untuk menembak Jokowi. Kelompok Prabowo-Sandi menganggap petahana ini bikin gaduh saja.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘sontoloyo’ memang bermakna negatif, yaitu “konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian).” Cerdaskan kita menghadapi politisi yang sontoloyo dengan cara bajingan? You jual, gua beli! Kata ‘bajingan’ menurut KBBI, juga bernuansa negatif, yaitu penjahat, pencopet, kurang ajar. Bisa saja.
Jangan kaget, kata ‘sontoloyo’ dan ‘bajingan’ sebenarnya positif dalam pemaknaan Jawa. Sontoloyo artinya penggembala bebek atau itik, sedangkan bajingan adalah pengendara gerobak sapi. Seorang penggembala tentu bisa mengatur ternaknya sedemikian rupa, sehingga bisa sampai ke tujuan. Misalnya, sawah tempat mereka mencari makan atau kembali ke kandang. Sementara pengendara gerobak sapi tentu saja memastikan agar sapinya berjalan di jalur yang benar sehingga tidak tabrakan.
Demikian juga politik sontoloyo, seharusnya tidak perlu ada di negara Indonesia yang terkenal santun dan berbudaya tinggi. Apakah kita akan membalas tindakan sontoloyo dalam arti negatif, dengan sikap bajingan dalam konotasi negatif pula? Tentu saja tidak.
Jika aksi negatif direspons dengan negatif, hasilnya justru destruktif. Bisa ke diri sendiri. Bisa ke orang lain. Ke diri sendiri salah satunya diwujudkan dengan bunuh diri. Ke orang lain dengan membalas dendam secara kejam. Mari kita gembalakan pendukung (dan keluarga) kita dengan sikap yang agung dan kendalikan kendaraan politik dengan aman dan nyaman sesuai aturan. Kiranya negeri ini sampai ke tujuan yang kita cita-citakan bersama.