close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Prasetio Edi Marsudi
icon caption
Prasetio Edi Marsudi
Kolom
Jumat, 31 Januari 2020 22:08

'Buruk rupa' revitalisasi Monas

Terkait penataan Monas, seharusnya Biro Hukum turun tangan dengan memberikan pertimbangan kepada pimpinan dalam menjalankan tugasnya.
swipe

Proyek revitalisasi kawasan Monumen Nasional (Monas) sisi selatan yang tengah dikerjakan menuai polemik. Permasalahan bermula dari penebangan sekitar 190 pohon. Lalu, menyasar ke PT Bahana Prima Nusantara selaku pemenang tender, karena melaksanakan pekerjaan setelah waktu kontrak kerja berakhir. Alamatnya juga memancing kecurigaan, lantaran menyewa kantor virtual dan berada di kawasan permukiman padat penduduk, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur (Jaktim).

Seiring waktu, keganjilan demi keganjilan terus menyeruak ke permukaan. Dalam rapat kerja bersama Komisi D DPRD DKI Jakarta, diketahui proyek belum mengantongi persetujuan Komisi Pengarah (KP) yang dipimpin Menteri Sekretariat Negara (Mensetneg). Padahal, ketentuan ini mesti dipenuhi sesuai amanat Pasal 5 ayat (1) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dus, dewan meminta pekerjaan dihentikan.

Meski demikian, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Sekretaris Daerah, Saefullah, membela diri. Dia mengklaim, revitalisasi Monas telah sesuai prosedur. Namun, tak dijelaskan secara detail. Padahal, berdasarkan pengakuan Mensetneg, Pratikno, belum ada komunikasi dengan pemprov terkait proyek itu hingga hingga Senin (27/1). Sehingga, tak ada persetujuan yang diberikan. Pun meminta proyek disetop dulu.

Saya juga tercengang kala menginspeksi proyek, Senin (27/1). Pengerjaannya justru memangkas ruang terbuka hijau (RTH) dan area resapan air, karena bekas lokasi pohon telah dibeton. Bahkan, sebanyak tujuh batang berdiameter sekitar 80 sentimeter dibiarkan tergeletak. Jauh berbeda dengan klaim pemprov yang akan menanam kembali.

Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Begitu sikap pemprov. Tetap melanjutkan proyek senilai Rp64 miliaran tersebut. Seakan-akan permintaan DPRD dan Mensetneg “angin lalu”. Setelah desakan membuncah, akhirnya resmi dihentikan sementara per Rabu (29/1).

Secara regulasi, beberapa poin dalam Keppres 25/1995 juga dilanggar pemprov. Seperti tentang desain. Semestinya perencanaan pembangunan mengacu pada Pasal 2 ayat (1). Faktanya, diperlombakan dan memakai karya pemenang. Apalagi, ada kabar burung yang menyebutkan, pembayaran tak dilakukan per termin sesuai progresnya. Tentu bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan turunannya.

Berbagai pelanggaran kasatmata tersebut, ditilik lebih jauh, merupakan bentuk pembangkangan pemprov terhadap peraturan perundang-undangan–yang semestinya dapat dihindari jika dengan perencanaan matang. Sebagai contoh, mengabaikan permintaan Mensetneg selaku pembantu presiden dan DPRD. Selaku perpanjangan tangan pemerintah pusat, semestinya jalannya pemerintahan di daerah tak bertentangan dengan pemerintah pusat. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Namun yang terjadi, mengisyaratkan ketakadaan komunikasi dan koordinasi di antara keduanya.

Menyangkut pengabaian terhadap permintaan DPRD, meski telah dijalankan per Rabu (29/1), mempertontonkan buruknya pengejawantahan demokrasi di Ibu Kota. Padahal, DPRD salah satu pilar demokrasi, selain pemerintah, lembaga yudikatif, dan pers. Termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sehingga, pemprov dan dewan memiliki posisi yang setara, meski tugas dan fungsinya berbeda.

Pada dimensi lain, kasus tersebut menunjukkan Biro Hukum dan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) mandul dalam menjalankan fungsinya. Padahal, perannya vital. Agar roda pemerintahan berjalan sesuai norma hukum. Apalagi, dana yang dikucurkan untuk TGUPP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2020 mencapai Rp19 miliar. Angka yang fantastis.

Terkait penataan Monas, seharusnya Biro Hukum turun tangan dengan memberikan pertimbangan kepada pimpinan dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan TGUPP, berkewajiban menganalisis kebijakan gubernur dalam rangka penanganan masalah hukum dan pencegahan korupsi.

Di sisi lain, apabila meminjam konsep Anggota Bidang Hukum dan Pencegahan Korupsi TGUPP, Bambang Widjojanto, pada beberapa waktu lalu, sejatinya terjadi tindakan koruptif dalam pengelolaan pemerintahan di Ibu Kota. Sebab, proyek revitalisasi kawasan Monas mengarah ke perbuatan korupsi.

Dengan demikian, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mestinya memberikan pembinaan kepada pemprov. Baik pembinaan umum maupun pembinaan teknis. Sehingga, jalannya program-program pemda berjalan sesuai prosedur berlaku. Ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2019 tentang Perencanaan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2020.

Pembinaan, sesuai Pasal 1 ayat (1) PP 12/2017, ditujukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan pemda dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih jauh tentang pembinaan umum dan teknis termuat dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3).

Semoga pemprov memetik pelajaran dari masalah ini. Semata-mata demi jalannya roda pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan berlaku serta memiliki perencaan yang matang dan terukur. Bukan sekadar memaksakan program berjalan demi tercapainya rencana pembangunan daerah dan terserapnya anggaran, tetapi acuh terhadap norma.

Jalannya roda pemerintahan di Jakarta secara ugal-ugalan merupakan sebuah keniscayaan, apabila relasi pemprov dengan pemerintah pusat dan DPRD buruk. Ini pernah terjadi pada era sebelumnya. Sehingga, dasar anggaran kebijakan dan program pemerintah tidak berdasarkan peraturan daerah (perda), melainkan peraturan gubernur (pergub). Jika itu terjadi, visi memajukan kota dan membahagiakan warga hanya sekadar kata-kata tanpa makna.

img
Prasetio Edi Marsudi
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan