Cita-cita dan serbuan iklan “Cak Imin” di Pantura
Awal tahun ini, dalam perjalanan darat dari Jakarta ke Jawa Timur untuk liburan, ada pemandangan mencolok sepanjang jalur Pantura. Sejak keluar dari pintu tol Brebes Exit (Brexit) hingga Surabaya, bertebaran ratusan reklame raksasa dengan foto Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Billboard Cak Imin dipasang di berbagai titik strategis dan dari jenisnya bukan spanduk gratisan ala pinggir jalan.
Biasanya spot tersebut diisi iklan rokok, mobil, produk kecantikan dan lainnya. Tentu harganya mahal untuk menyewa space tersebut. “Cak Imin Cawapres 2019”, itulah pesan kunci dari billboard aneka warna yang dipasang oleh Relawan Cak Imin (Rancak). Beberapa titik juga menggunakan bahasa Jawa dengan pesan senada. Istri saya yang duduk di sebelah sambil menggendong anak menanyakan, ‘apakah sekarang sudah pemilu presiden?’ Tentu pertanyaan dia bukan untuk dijawab. Karena ia juga tahu bahwa perhelatan Pilpres masih lama. Dia hanya heran, sepagi ini kampanye Pilpres sudah dimulai.
Kekagetan istri saya mungkin mewakili sebagian besar masyarakat yang melihat iklan politik tersebut. Apalagi setelah Jokowi dan Cak Imin naik kereta bareng menuju bandara untuk meresmikan kereta, awal tahun ini. Publik makin berspekulasi bahwa Cak Imin akan berduet dengan Jokowi di 2019 nanti. Secepat dan sesederhana itukah? Tentu tidak, karena jalan masih panjang.
Sedikit catatan peresmian kereta bandara, Presiden Jokowi memang kerap didampingi tokoh-tokoh politik dalam banyak ceremony, tak hanya para menteri dan pejabat pemerintah. Sebelum Cak Imin, Megawati Soekarnoputri juga kerap tampil di Istana dalam berbagai kesempatan. Begitu juga dengan Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh dan sejumlah pimpinan parpol koalisi pemerintah lainnya. Tak begitu jelas apa relevansi tokoh-tokoh parpol terlibat dalam peresmian sebuah proyek.
Di era sebelumnya, jarak antara pemerintah dan partai politik relatif lebih tegas. Jarang sekali—kalau tidak mau dibilang tidak pernah—tokoh-tokoh koalisi pemerintah hadir secara demonstratif pada acara-acara seremonial pemerintahan.
Kok hanya Cawapres?
Anyway, kembali ke laptop tentang kampanye Cak Imin. Secara pribadi saya melihat marketing Cak Imin sebagai sesuatu yang sah-sah saja dalam demokrasi. Tak ada yang dilanggar, kecuali mungkin etika politik saja. Itu tak lebih bagian dari pre-season atau test on the water. Dalam sepak bola, pre-season biasanya digunakan oleh klub-klub untuk mencoba-coba strategi dan pemain baru. Dari situ lalu dilakukan evaluasi sebelum liga yang resmi digelar. Test on the water juga senada, untuk mengecek sejauh mana respon publik yang akan muncul. Kalau respon publik positif, maka strategi berikutnya dijalankan. Sebaliknya, jika ternyata publik tak acuh, maka bisa menjadi bahan evaluasi untuk mengubah strategi.
Publik disini maksudnya adalah audience dalam konteks komunikasi politik. Selain masyarakat, audience yang disasar Cak Imin juga termasuk para elit politik sampai Presiden Jokowi. Dengan “kode keras” keakraban di kereta bandara, satu langkah Cak Imin merapat ke Jokowi bisa dikatakan membuahkan hasil. Tapi sekali lagi itu baru satu langkah, karena banyak tahapan yang harus dilewati sampai 2019.
Lebih jauh, dari manuver Cak Imin ada fenomena menarik, dimana untuk kali pertama iklan politik terkait pilpres hanya menyasar posisi Cawapres. Sebelumnya, pada pilpres 2009 dan 2014, selalu yang muncul adalah tokoh Capres. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa banyak tokoh politik melihat Jokowi sebagai calon presiden yang terlalu kuat untuk dikalahkan di pemilu mendatang. Sehingga daripada mengeluarkan banyak energi untuk bertarung merebut posisi Capres, sebagian bersikap realistis dengan hanya menargetkan Cawapres. Kuatnya elektabilitas Jokowi setidaknya digambarkan banyak survei belakangan. Rata-rata menempatkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah di atas 60%. Angka yang positif, meskipun itu bukan jaminan situasinya tetap bertahan sampai setahun ke depan.
Sebagai Ketua Umum PKB—partai lima besar di Pileg 2014—Cak Imin tentu memiliki target politik tertentu. Modal politik dan kapasitas juga ia miliki. Berbagai pos jabatan publik pernah diraih oleh Cak Imin, terakhir ia sebagai menteri di era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Dengan ambisi Cawapres, ia tengah menyasar target yang lebih tinggi di masa depan. Namun demikian, ada beberapa catatan dari kampanye dini Cak Imin.
Pertama, secara komunikasi politik manuver tersebut tidak terlalu nendang. Pasalnya ruang publik hari ini (mungkin juga sepanjang 2018) tengah disesaki riuh rendah Pilkada, khususnya di daerah-daerah kunci seperti Jabar, Jateng dan Jatim. Maka coverage media juga kurang dalam meliput guyuran billboard di Pantura itu. Bukti lainnya tak banyak media mainstream yang memberitakan hal ini.
Kedua, di banyak survei Cawapres dengan elektabilitas tertinggi pendamping Jokowi, justru tak ada nama Cak Imin. Yang muncul adalah nama tokoh muda Partai Demokrat (PD), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebagai politisi zaman now yang peduli data riset, statistik dan social media, Jokowi tidak mungkin meminggirkan semua angka-angka tersebut. Upayanya merangkul Golkar dan partai-partai lain untuk mendukung pemerintah, juga bukti bahwa ia tak semata-mata mengandalkan popularitasnya.
Dengan situasi demikian, peluang Cak Imin untuk dipinang Jokowi relatif kecil. Kecuali jika dalam setahun ke depan namanya tiba-tiba mampu menembus papan atas daftar Cawapres. Atau mungkin pihak Cak Imin sudah mempelajari temuan survei tersebut—yang tidak mencantumkan nama Muhaimin—sehingga sekarang ia bergerak massif untuk membetot perhatian publik. Mungkin saja, namanya juga politik.
Ketiga, terbatasnya ruang publik mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap Cak Imin. Berbeda dengan saat ia menteri, yang setiap hari bisa bersinggungan dengan media, sebagai ketua partai hal itu tak lagi bisa dilakukan. Maka menjadi sesuatu yang logis bila elektabilitasnya di bursa Cawapres juga rendah.
AHY yang kini menjadi calon kuat pendamping Jokowi, meskipun kalah di Pilkada Jakarta, namun ekspose benar-besaran selama setahun terakhir membuat namanya diingat publik. Begitu juga Gatot, Tito dan Sri Mulyani—ketiganya rutin muncul ke publik dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Maka adalah sesuatu yang mudah dipahami bila Cak Imin membombardir Pantura dengan baliho. Hal ini sebagai upaya untuk mengejar nama-nama lainnya yang sudah “nempel di kepala” banyak orang.
Tak ada yang final di ilmu sosial
Wow.. tak terasa saya sudah menulis banyak paragraf terkait Cawapres Cak Imin. Saya berharap tujuan politiknya pasca men-Cak Imin-kan Pantura berhasil. Meski begitu sejujurnya masih ada yang ngganjel di kepala saya. Yaitu mengapa tidak sekalian membuat billboard “Capres 2019”, itu kan lebih keren di mata. Dan ini bukan hanya untuk Cak Imin, tapi berlaku bagi tokoh-tokoh lainnya, agar jangan tanggung-tanggung dalam mentargetkan sesuatu. Fakta statistik hari ini terkait elektabilitas Presiden Jokowi yang kuat janganlah terlalu dipusingkan. Elektabilitas bukanlah tembok China yang tak bisa diruntuhkan. Bukan pula Candi Borobudur yang demikian kokoh. Dalam ilmu sosial tak ada sesuatu yang final, alias semua bisa bergerak dinamis, fluktuatif.
Dengan banyak tokoh yang berani memproklamirkan diri sebagai Capres, hal itu justru positif bagi demokrasi. Setidaknya dialektika dalam setahun ke depan akan dinamis, dan masyarakat mendapat banyak variasi menu ‘janji politisi’ untuk dikonsumsi. Dengan banyaknya menu, maka publik bisa memilih menu mana saja yang ‘menyehatkan', mana yang ‘memabukkan’ dan mana yang ‘menyakitkan’. Percayalah persaingan terbuka dan fair itu baik bagi demokrasi. Baik pula untuk rakyat dan para elit itu sendiri.